WANITA HARUS HOBI BELANJA?

WANITA HARUS HOBI BELANJA?

Oleh: Ananda Musdalifah

Foto Ilustrasi Penulis sedang Berbelanja

Shopping!

Satu kata yang membuat mata para wanita langsung cerah berbinar dan energi semangatnya berlimpah berkali lipat. 

Bahkan Profesor Psikologi, Karen Pine, dari Universitas Hertfordshire Inggris, dalam penelitiannya menemukan 79% wanita mengatakan bahwa berbelanja dapat menghibur diri mereka. Tak berlebihan jika belanja digadang sebagai obat terbaik saat penat dan sedih. Khususnya untuk para wanita.

         Para wanita memang terlihat kerap kali mendominasi setiap spot pusat perbelanjaan. Mulai dari kios emperan kaki lima, pasar kaget, sampai mall dengan berbagai toko barang branded nyaris tak pernah absen dari keramaian para wanita. Tapi benarkah hanya wanita yang hobi berbelanja? Atau sistem sosial telah membentuk seolah wanita memang harus hobi belanja?

        Awalnya, saya pribadi tidak pernah setuju dengan julukan wanita itu tukang belanja atau hobi belanja. Bukankah hobi adalah suatu aktivitas yang kita gemari sehingga membuat bahagia. Lalu mengapa bisa belanja jadi hobi mayoritas wanita?

      Menurut saya–yang juga merupakan wanita–belanja adalah salah satu aktivitas yang menambah penat dan stres. Di mana letak bahagianya kalau uang yang dicari susah payah langsung habis sekejap setelah belanja?

Namun, seiring bertambah dewasa saya justru menemukan pengakuan kontradiktif dari para wanita di sekitar saya dengan apa yang saya rasakan perkara berbelanja ini. Mereka mengaku berbelanja adalah aktivitas yang menyenangkan, melepas lelah, stres, penat, bahkan menjadi altenatif dalam upaya healing process. Jika buat saya berbelanja adalah keterpaksaan atas nama kebutuhan, justru mereka menganggapnya sebagai sarana rekreasi dan relaksasi.

Bukti nyata terdekatnya datang dari keluarga saya sendiri. Saya melihat mama merasa begitu bahagia jika bisa belanja sesuatu, apapun itu. Bahkan jika hanya alat-alat toiletries, apalagi kalau sudah belanja barang idamannya, suasana hatinya terlihat sumringah. Begitu juga adik saya, terlihat begitu bahagia jika bisa belanja alat-alat kecantikan dan baju idamannya. Lucunya, malah saya yang stres sendiri melihat itu.

Menemukan fakta yang kontradiktif itu membuat saya terpikirkan argumentasi baru. Mungkin berbelanja memang bisa jadi sarana rekreasi menyenangkan bagi mereka yang punya uang. Bukankah menyenangkan jika bisa memiliki apa yang diinginkan. 

Namun, lagi-lagi saya menemukan fakta yang kontradiktif. Saat saya sedang punya cukup uang, saya tetap tidak bisa merasakan sensasi kebahagiaan saat dan setelah berbelanja seperti orang-orang. Apa karena saya hanya membeli sesuatu yang dibutuhkan bukan yang diinginkan? Atau memang ada yang salah dengan saya?

Setelah merenungi pertanyaan itu, saya kembali memusat pada topik utama. Dan menemukan sebuah definisi ‘lain’ dari belanja. Belanja adalah jalan rela melepaskan. Uang–bahkan segala hal– yang hadir itu pasti akan hilang dan berkurang, bagaimana pun kita menjaganya.

Jadi lebih baik segera dilepaskan saja pada momentum yang baik, daripada terus-terusan dijaga superketat, toh pada akhirnya akan dirampas paksa oleh waktu. Mungkin jawaban mengapa saya tidak bisa merasa bahagia ketika berbelanja karena saya sulit rela melepaskan. Mungkin para wanita lain bisa merasa bahagia karena mereka menguasai kemampuan rela melepaskan itu.

Sama halnya seperti konsep membelanjakan harta di jalan Allah. Salah satunya melalui zakat. Secara kasat mata zakat hanya terlihat mengurangi harta yang kita miliki, tapi sebenarnya zakat adalah jalan untuk membersihkan dan menyucikan diri. 

Setiap hal baik yang kita miliki pasti ada ampas kotoran yang harus dibersihkan, dilepaskan, atau dibuang. Contohnya asupan makanan dan minuman yang kita konsumsi. Seberapa pun lezat, bergizi, dan mahalnya asupan tersebut, tetap saja setelah dicerna oleh tubuh ada bagian yang harus dibuang.

Foto Ilustrasi Toilet

Membuang ampas makanan setelah dicerna oleh tubuh bukanlah pemborosan, melainkan cara tubuh untuk membersihkan diri secara fisik. Bukankah kita bisa merelakan apa yang telah kita dapatkan setiap kali kita membuang kotoran dalam tubuh?

Dari proses itu juga kita selalu mempraktikkan nilai ikhlas tentang apa yang kita keluarkan tidak perlu kita ingat lagi. Kira-kira membelanjakan harta di jalan Allah juga seperti itu. Menyucikan jiwa dari harta yang memang harus dikeluarkan. Karena semua hal yang kita dapatkan tidak pernah bisa mutlak jadi milik kita.

Topik belanja ini sangat menarik. Hampir setiap orang pasti bisa berbelanja. Namun, hanya sedikit yang mahir berbelanja. Sejak dulu mayoritas kita pasti selalu diajarkan oleh orang tua untuk menabung dan berhemat. Tapi jarang ada yang mengajarkan cara berbelanja. Padahal keduanya saling berkaitan dan sama pentingnya. Akhirnya, sudah capek-capek menabung dan berhemat, tapi malah salah belanja.

Kalian pasti pernah menemukan orang yang licin saat menawar harga barang. Cerdik memilah-milih barang dengan kualitas super. Lincah mendapat barang-barang promo. Atau cerdas membeli sesuatu dengan potensi harga return yang lebih tinggi saat dijual kembali. 

Apa kalian termasuk salah satunya? Jika iya, selamat! Karena itu adalah skill yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Bahkan saya agak menyesal karena tidak hobi berbelanja sejak dulu. Akibatnya saya tidak memiliki skill mumpuni untuk jadi orang yang mahir berbelanja. Skill merupakan sesuatu yang didapat melalui proses asahan yang panjang bukan? Seandainya sejak dulu saya hobi belanja.

Lalu mengapa wanita bisa hobi belanja? Atau mengapa belanja selalu dierat-kaitkan dengan wanita?

Secara tidak sadar sistem sosial memang selalu mengandalkan wanita untuk memenuhi segala stok kebutuhan rumah tangga. Wanita dipaksa harus lebih aware dibanding pria. Maka dari itu, pusat perbelanjaan sering dipadati oleh wanita.

Namun, siapa bilang hanya wanita yang hobi belanja, pria juga hobi belanja. Meski jarang, sekali berbelanja pria cenderung menghabiskan uang lebih banyak dibanding wanita. Wanita biasanya berbelanja untuk kebutuhan general dan banyak orang seperti kebutuhan pokok rumah tangga, maka terlihat lebih sering. Adapun untuk kebutuhan personal, biasanya wanita cenderung ke kebutuhan fashion dan alat kecantikan. Sementara pria, lebih pada di bidang sport atau otomotif.

Sekali lagi, apakah memang wanita harus hobi belanja?

Sebenarnya terlepas dari apapun gendernya, manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satunya dengan cara berbelanja. Maka yang dibutuhkan bukan hobi belanja, tapi cerdas berbelanja. 

Cerdas belanja bukan berarti selalu menghemat dan perhitungan sehingga tidak terbeli apa-apa. Cerdas belanja juga bukan berarti selalu menawar harga barang habis-habisan, bisa amsyong para penjual! Cerdas belanja adalah bagaimana kita mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan secara proporsional. Tetap menggunakan rasional dan perasaan secara seimbang saat bertransaksi.

Jadi, selamat berbelanja!

Duh, jadi semangat untuk berbelanja, apalagi kalau ada yang nemenin dan belanjain. ☺

Komentar

Posting Komentar