Terasingkan, Mengasingkan

Gue selalu penasaran bagaimana orang-orang sekitar mengartikan kehadiran gue. Seberapa berartinya kehadiran gue untuk diri mereka atau kepentingan mereka. Meski rasanya gak mampu juga jika tahu hal yang sebenarnya. Karena pasti gue gak pernah berarti apa-apa buat mereka. Tanpa mereka harus bilang secara langsung, semuanya sudah bisa ditebak. Lalu kenapa lagi gue penasaran? Apa benar gue pengen langsung dengar pengakuan itu dari orang-orang sekitar? Lantas buat apa? Buat bikin diri gue sendiri makin hancur?

Gue kesepian banget. Hidup gue merasa semakin gak berarti setiap harinya. Rasanya, kehadiran gue buat orang-orang gak pernah ada artinya. Terus buat apa gue hadir? Buat apa gue ada?

Kenapa?

Saat orang-orang sekitar gue selalu dipedulikan orang lain, kenapa gue enggak?

Saat orang-orang sekitar gue selalu ditanya dan dicariin kalau gak hadir dalam satu-dua momen, kenapa gue enggak?

Saat orang-orang sekitar gue selalu dilepas dengan sayang ketika hendak pergi, kenapa gue selalu diperlakukan biasa, ala kadarnya, seperti gak terjadi apa-apa?

Bahkan keberadaan gue pun masih gak ada artinya dibanding mereka yang pergi tapi seolah selalu memenuhi kami, selalu dirindui, dinantikan kapan kepulangannya, merasa seolah kehilangan, tapi kenapa gue selalu enggak?

Kenapa kehadiran gue di tengah orang-orang sekitar gak pernah berarti apa-apa. Hadir dan tidaknya gue gak mempengaruhi apapun. Pergi lama atau sebentar tidak berkesan sama sekali. Kenapa gue selalu merasa seperti benda mati yang dikelilingi makhluk hidup? 

Sampai pada titik gue memutuskan untuk mengasingkan diri. Merasa tidak layak diperlakukan lebih baik dari seonggok patung hiasan. Gue mulai mengonfirmasi ke diri sendiri bahwa keberadaan gue memang gak pernah ada artinya. 

Jadi kenapa?

Kenapa gue harus berusaha tampil jadi menyenangkan, toh mereka juga gak bakal senang.

Kenapa gue harus memperbaiki sikap, mereka juga gak pernah memperhatikan, selama ini keberadaan gue seperti ada dan tiada.

Kenapa gue harus berinisiatif peduli, mereka juga selalu menganggap gue nyaman dengan diri sendiri dan gak butuh kepedulian siapapun.

Kenapa gue harus ikut bersimpati dan menolong saat salah satu tertimpa musibah, lalu semua orang berbondong membantu, tapi saat gue berada di posisi itu selalu aja dianggap angin lalu. Semua hal menyakitkan yang gue alami adalah hal sepele yang akan reda seiring waktu dan lagi-lagi semua menganggap gue akan selalu bisa handle sendirian.

Kenapa gue harus mengasihani orang yang hanya sesekali terpaksa jalan kaki 500 meter sendirian, sementara orang lain selalu mewajarkan saat gue sering jalan kaki dengan jarak lebih jauh, sendirian, dan di bawah terik panas. Seolah gue sangat sangat menyenangi kesusahan dan kesendirian. Kenapa gue harus mengasihani mereka yang selalu menuai banyak uluran bantuan, sementara gue enggak?

Kenapa gue harus ada, kalau gak pernah ada yang menginginkannya?






Komentar