CERITA PENDEK




PENDOBRAK IMPIAN - PART 2          

  Kami sedang di rumah Bram. Mengulas kembali seluruh materi Ujian Nasional yang sudah kami pelajari. Ujian Nasional akan berlangsung esok lusa. Hanya tinggal menghitung jam. Kami sepakat hari ini hanya untuk mengulas ringan materi, memastikan semuanya memang sudah dipahami. Saling mengamati, mengoreksi, memberitahu, dan diselingi gurauan-gurauan hangat pencair suasana.
            Tere sedang sibuk mengganti chanel TV. Bosan sedari tadi hanya mengutak-atik lembaran kertas dengan pena.
            “Lihat itu! Hebat sekali.” Aku berseru takjub melihat tayangan di televisi yang meliput kejuaraan anak bangsa di tingkat ASEAN. Disana berjejer para pemenang olimpiade. Lagu Indonesia Raya berkumandang dengan lantang. Indonesia meraih juara satu olimpiade fisika.
            “Lihatlah. Indonesia mampu menunjukkan prestasi anak bangsanya, bukan?” Aku berseru lagi setelah tayangan itu usai.
            “Iya, Indonesia memang hebat.” Tere mengangguk setuju, “Dan akan lebih hebat lagi jika Indonesia mampu meminimalisir kesenjangan antara ‘si bodoh’ dan ‘si pintar’.” Ujar Tere, membuatku berpikir sejenak.
            “Kau benar, Tere. Selama ini Indonesia selalu aktif unjuk prestasi, ternobatkan sebagai juara. Tetapi juara itu hanya diraih oleh orang dan pihak yang selalu sama.” Bram tiba-tiba ikut berkomentar. “Belum lagi, instansi pendidikan yang selalu haus dengan pencitraan. Menggunakan segelintir siswa yang dituntut untuk selalu bersaing dan saling mengalahkan. Berdalih bahwa itu sebuah pembelajaran.” Tukas Bram.
            “Itu memang sebuah pembelajaran. Dan menurutku, tidak semua instansi seperti itu, Bram.” Aku berkata tidak sependapat dengan Bram.
            “Semua seperti itu, Kliwon. Sekolah kita bahkan menerapkan hal yang sama. Kita ini contohnya.” Bram menatapku lekat-lekat. “Sekarang ku tanya, siapa yang selalu menjadi panitia jika ada acara? Siapa yang selalu ditunjuk untuk mengikuti kegiatan di luar sekolah? Siapa yang mengikuti berbagai macam lomba, aktif diberbagai ekstrakurikuler. Bahkan setelah semua kesibukkan itu, siapa pula yang menjadi juara kelas? Hanya orang-orang itu saja, kan? Yang sibuk semakin sibuk dan yang terpuruk semakin terpuruk. Mana janji untuk mencerdaskan kehidupan bangsa?” Kami terbungkam mendengar ucapan Bram, “Kau tahu Kliwon, aku kasihan betul pada kawan-kawan kita. Selama ini kita tidak tahu, bahwa mereka sebenarnya sangat ingin seperti kita. Hanya saja mereka tak pernah merasa memiliki kesempatan. Kita yang selalu haus dengan persaingan dan prestasi membuat mereka tidak pernah tau bagaimana rasanya memiliki kesempatan. Maka jangan selalu salahkan mereka jika terlihat seperti tak berguna. Karena kitalah yang tidak pernah merangkul mereka.” Ujar Bram panjang lebar. Kami terdiam mencerna kata-katanya.
            “Lantas menurutmu, instansi pendidikan dan tenaga pengajar itu salah? Bersaing dan kompetisi itu salah. Bahkan orang-orang yang selalu berusaha macam kita ini juga salah?” Aku bertanya dengan nada sedikit tinggi di akhir kalimat.
            “Tidak seperti itu juga, Kliwon.” Kali ini Tere yang menjawab, “Bukankah kau pernah bilang, tidak ada yang salah ketika kita berbuat kesalahan. Menerima, memaafkan, dan belajar.” Aku tersipu, ternyata Tere masih mengingat itu. “Nah, dengan kata-kata itu seharusnya kau tahu jawabannya.”
            “Memang jawabannya apa, re?” Edi yang sedari tadi diam, tertarik bertanya. Aku mengangguk, sepakat dengan Edi.
            Tere tersenyum, “Kita sudah tahu semuanya salah. Lantas untuk apa mencari tahu siapa yang paling salah? Itu tidak diperlukan. Yang diperlukan itu, bagaimana cara kita untuk memperbaiki keadaan. Belajar untuk tidak mengulanginya.” Tere terdiam sejenak. Menatap kami. “Kita sudah membuktikannya, bukan? Merubah segala ambisi berlebih menjadi saling berbagi, ternyata jauh lebih menyenangkan dan bermanfaat. Karena sejatinya, bangsa ini tidak membutuhkan kompetisi.” Tere menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya hendak mengatakan sesuatu yang serius. kami menatap Tere, menunggu kalimatnya.
            “Berjanjilah, kawan. Kelak, kita akan jumpa di puncak sukses. Sekali melangkah pergi, pulang membawa arti.”
            Mata Tere berkaca-kaca. Kami ternyum haru, menunduk mengamini. Esok lusa adalah akhir sekaligus awal ujian sebenarnya.
.                                                                            ***
            Waktu melesat bagai anak panah yang terlepas dari busurnya. Mengubah segalanya dengan sekejap, secepat kedipan mata.
            Aku sedang dipelataran parkir sekolah, memarkirkan mobilku diantara jejeran mobil lain. Tengok kiri-kanan, menyimak perubahan-perubahan sekolah ini sebelas tahun terakhir. Ah berbeda sekali, tambah elok saja sekolah ini.
            “Kliwon, hei kaukah itu?” Suara dua orang lelaki memanggil, memecah lamunanku. Aku menoleh. Mereka melangkah mendekat. Hei, itu Bram dan Edi. Dan di belakang mereka, dua perempuan cantik melangkah bersisian bersama gadis kecil dengan gaun merah muda. Rambut hitam legamnya panjang tergerai, tersemat pula pita hello kitty diatasnya. Melangkah centil mendekati Bram. Lucu sekali.
“Wah, gagah dan tampan kali kau sekarang. Pangling aku jadinya.” Edi memelukku erat, menepuk bahuku berkali-kali. Disusul dengan Bram. Aku juga menyalami dua perempuan cantik yang  tersenyum sumringah. Lalu aku mencubit pipi tembam gadis kecil yang sekarang berada di gendongan Bram. Yang dicubit teriak merajuk. Kami tertawa.
“Malam semuanya..”
Alamak! Suara merdu itu seperti amat akrab di telinga. Kami serentak menoleh.
“Hallo.. Kalian sudah dari tadi?” Ia menyapa dan tersenyum hangat.
Ya, tak salah lagi, itu Tere. Lihatlah dia mengenakan gaun lengan panjang hijau toska. Dan alamak! Kejutan sekali. Dia mengenakan jilbab berwarna senada. Berdiri sopan dan anggun. Raut wajahnya syahdu. Dan lihatlah senyumnya. Manis sekali. Sama sekali tak berubah.
“Kami baru saja tiba, re. Melihat Kliwon yang celingak-celinguk sendiri, kami tak tega. Langsung saja kami hampiri.” Bram menjawab asal, ternyata ia tak pernah berubah. Selalu saja senang meledekku. Pelataran parkir itu langsung dipenuhi dengan tawa.
“Kawan, acara sepertinya segera dimulai. Ayo bergegas.” Edi terlihat semangat, langsung berjalan paling depan menuju lapangan, tempat reuni berlangsung.
Aku berjalan paling belakang bersisian dengan Tere.
Sebelas tahun setelah lulus SMA dengan predikat membanggakan, kami terpencar melanjutkan meniti cita-cita. Sekarang, Bram tidak lagi takut ketinggian. Bagaimana tidak? Kini dia adalah pilot penerbangan ternama dengan jam penerbangan intensitas tinggi. Empat tahun lalu ia meminang pramugari cantik yang kini ada dalam rangkulannya. Setahun kemudian, lahirlah malaikat kecil mereka yang super lucu itu.
Edi? Wah dia pandai berhitung sekarang. Edi melanjutkan bisnis properti keluarganya. Bisnis propeti itu menjadi amat prestisius dan menggurita. Terkenal seantero ASEAN semenjak Edi yang mengendalikannya. Tak pelak lagi, dia membuat jatuh hati putri keraton di sebelahnya. Bulan depan katanya hendak menikah.
Nah berbeda dengan gadis di sebelahku, sebelas tahun silam dia gagal masuk akademi kedokteran. Entah bagaimana selanjutnya, kini justru ia menjadi guru. Kalian tahu? Tere menjadi guru Agama Islam di sebuah Madrasah Aliyah Negeri paling prestisius di kota ini. Sama sekali tak terduga. Disamping itu, ia merangkap sebagai penulis yang karya-karyanya terkenal dan begitu menginspirasi. Padahal dulu nilai Bahasa Indonesianya selalu paling rendah. Aku belum mendengar siapa lelaki yang berhasil membuat hati Tere berlabuh.
Aku? Rabu Kliwon, dengan nama paling aneh di sekolah. Kini aku adalah pemilik agency travel ternama di tanah air, pemilik resort dan bungalow yang terpencar di daerah Bali, Lombok, dan Raja Ampat, Papua Barat. Aku juga ikut berkecimpung menanamkan saham di berbagai perusahaan properti. Aku sangat mahir berbahasa Inggris sekarang. Jangan tanya logat, bahkan sudah hilang seratus persen. Aku tak pernah lupa, ini semua berkat Bram yang selalu intens mengajariku, bilang bahwa aku harus belajar untuk menyukai Bahasa Inggris.
Kalian tahu? Setiap aku berhasil mengikuti tes Bahasa Inggris, dengan bangganya ia bersama Edi dan Tere mengarakku ke tengah lapangan. Mendorongku dengan gerobak sambil berteriak-teriak pakai toak, “Hei kawan-kawan.. Kini Kliwon Jawa tidak lagi seram, dia pandai berbahasa Inggris sekarang. Hei gadis-gadis, kemarilah minta nomor teleponnya sebelum kalian menyesal.” Lantas mereka tertawa meninggalkanku yang nelangsa di tengah lapangan.
Ah, benar perkataan Tere. Sebenarnya kita hanya butuh semangat untuk berbagi kebaikan, bukan untuk saling mengalahkan apalagi menjatuhkan. Karena sejatinya, bangsa ini tidak butuh kompetisi. Bangsa ini butuh gebrakan prestasi generasi bangsanya yang bersatu dan saling menguatkan. Siapapun bisa jadi apapun. Aku tersenyum takzim mengingatnya.
“Hei, Kliwon Jawa. Melamun saja kau sejak tadi. Cepat kemari, jangan cengar-cengir sendiri. Sudah macam bencong Thailand saja kau.” Bram berteriak memanggil, memecah lamunanku. Aku menoleh. Lantas bergegas kesana diiringi gelak tawa teman-teman. Ah, masih saja seperti dulu.
       ***


 #OneDayOnePost
#ODOPBATCH5



Komentar