MENYELAMATKAN KEIMANAN
Oleh: Daswar Yusuf
Adjust Our Sails | Psychology Today |
Anda sering pergi ke pusat keramaian? Sering melihat
wanita berbusana minim, sangat minim, atau bahkan tanpa busana yang layak? Terlepas
dari Anda pria atau wanita, saat pertama kali melihatnya bagaimana pandangan
dan perasaan Anda? Adakah perasaan jengah, risih, atau terganggu? Lalu
bagaimana saat Anda telah melihatnya berkali-kali? Apakah tetap sama atau
berubah menjadi hal yang wajar dan biasa saja?
Dunia hari ini telah dipenuhi oleh kemungkaran. Tumbuh
subur dan berkembang biak mengelilingi kita. Dua pertanyaan besar setelah
menyadarinya, bisakah kita mengubah dunia itu atau duniakah yang mengubah kita?
Mari renungilah hadits Rasulullah SAW berikut;
"Barangsiapa
di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mencegah kemungkaran itu
dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika
tidak mampu juga, hendaklah mencegahnya dengan hati. Itulah selemah-lemahnya iman." (HR.
Muslim)
Jika menemui perkara mungkar, Rasulullah SAW
menitahkan kita untuk mengubahnya dengan tangan. Mengambil tindakan yang patut,
bukan duduk diam tanpa melakukan apapun. Jika tidak mampu, maka upayakan
menggunakan ucapan atau medium diskusi. Namun, jika juga tak didengar,
setidaknya kita mencegah dengan hati dan membenci perbuatan mungkar itu. Bukan
malah menormalisasi dan larut dalam toleransi kemungkaran.
Contoh kemungkaran lainnya yang sudah
ternormalisasi dalam masyarakat adalah riba. Bukan hanya transaksi
simpan-pinjam yang terang-terangan menggunakan prinsip riba, melainkan riba yang disamarkan dalam
transaksi jual-beli. Mengambil keuntungan dengan cara yang tidak patut.
Tahukah Anda? Jika terus melakukannya, maka Allah dan Rasul-Nya akan mengumumkan
perang dengan kita yang mengaku beriman. Allah tegas sekali berbicara dalam
Al-Qur’an tentang hal ini.
“Wahai orang-orang yang beriman!
Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kamu orang beriman.
Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan
Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu
tidak berbuat zalim dan tidak dizalimi.” (QS. Al-Baqarah: 278–279)
Dalam
ayat tersebut Allah jelas-jelas berbicara dengan orang yang beriman, bukan
dengan seluruh umat manusia, bukan pula dengan orang kafir, tapi khusus
berbicara pada orang yang mengaku beriman dengan-Nya. Adakah saat ini kita
sudah meninggalkan riba? Pantaskah kita mengaku hamba Allah yang beriman?
Apakah kita telah menjunjung tinggi perintah Allah sebagai orang yang beriman?
Sementara embusan nafas riba, debu-debu riba, sisa-sisa riba masih kita
nikmati. Syirik menggerogoti perjalanan keimanan kita kepada Allah. Kita sulit
keluar dari riba hari ini. Dapatkah kita ubah dunia atau justru kita sedang
diubah oleh dunia?
Sadar
atau tidak dunia telah mengubah kita. Jadi apa yang terjadi dalam diri Anda?
Bukankah sepatutnya kita keluar mengundurkan diri dari masyarakat tersebut?
Bukankah ini tindakan patut yang telah dicontohkan oleh Ashabul Kahfi? Dalam
surat Al-Kahfi Allah telah mengisahkan para pemuda dengan keteguhan iman, tapi
hidup dalam masyarakat yang menyembah Allah beserta tuhan yang lain. Lidah dan
lisan masyarakat itu mengatakan menyembah Allah, tapi sebenarnya tidak
menyembah-Nya.
Para Pemuda Kahfi menyatakan kebenaran dengan bangun menentang kesyirikan, lalu dikejar oleh masyarakat dan pemerintah musyrik saat itu. Para Pemuda Kahfi tidak menerima kebatilan dan menentang kesyirikan, mereka tetap mau mengubah dunia. Apa yang pemuda-pemuda itu lakukan? Adakah mereka ikut tinggal bersama masyarakat itu? Tidak! Mereka melarikan diri. Lantas Allah menurunkan rahmat atas mereka, maka dilindungilah mereka di dalam gua. Tertidur ratusan tahun, lalu terbangun dan menemui masyarakat baru yang teguh beriman kepada Allah. Padahal Para Pemuda Kahfi bisa memilih hidup tenang tanpa melarikan diri.
Mereka bisa saja
duduk diam mengurus keluarga, makan, tidur, dan mencari nafkah. Tentu tidak ada
masalah bagi mereka jika larut dalam masyarakat musyrik tersebut. Namun, dengan
keteguhan hati dan iman yang mereka miliki, mereka dapat mempertahankan
keimanan dan berhasil mengubah dunia.
Jika
kita masih nyaman bertahan tinggal dalam dunia syirik, maka suatu hari nanti
hati tidak akan lagi benci kepada kemusyrikan, tidak lagi merasakan syirik itu.
Seperti wanita berbusana minim dalam pusat keramaian. Pertama kali Anda
menyaksikan seolah dunia akan kiamat sebentar lagi. Namun, setelah hari demi
hari melihatnya, seolah itu adalah hal yang wajar. Mengapa? Karena hati sudah
tidak mengatakan saya benci tempat ini dan hati tidak mengatakan bahwa itu
termasuk bentuk kemungkaran. Atau mungkin berdalih mengatasnamakan toleransi
dan hak asasi. Anda tak akan mau lagi mengatakan ingin keluar dari pusat
keramaian tersebut. Hati kita sudah mati dan tidak merasakan apa-apa lagi.
Syirik
di zaman modern adalah harus melarikan diri. Mengasingkan dari masyarakat bukan
bermaksud tidak lagi melakukan dakwah, tapi mengasingkan diri demi menjaga
kekekalan iman kita. Terus merasa bimbang, resah, dan gelisah jika menemui
kemungkaran. Jika kita kebal dalam masyarakat itu keimanan kita akan lenyap
berangsur-angsur. Lama kelamaan hati dan diri kita sulit menolak kemungkaran dan
kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sosok
Ibu pastilah dianggap paling dihormati dan disayangi oleh kita. Lalu seandainya
ibu berada dalam masyarakat musyrik, dicaci, direndahkan, tidak dihormati,
bisakah kita duduk diam tanpa berbuat apa-apa? Bisakah hidup tenang-tenang
saja? Itu ibu kita, pastilah kita mengambil tindakan untuk melakukan
perlawanan. Lalu bagaimana dengan Allah? Seberapa kita menghormati-Nya? Kenapa
kita menarik diri? Jawabannya adalah untuk membentuk kumpulan masyarakat kecil
yang hidup berdasarkan hukum Allah, petunjuk Allah dan contoh rasul-Nya.
Jika
di sekeliling kita merendahkan Allah, menjadikan bersama Allah tuhan yang lain.
Entah itu guru atau ulama hebat yang kita tuhankan, uang, harta, jabatan, anak
dan pasangan menjadi tempat bergantung dan tempat taat kita selain Allah. Maka
pikirkanlah apa yang Allah perbuat terhadap kita. Tapi jika kita menarik diri
dari kumpulan masyarakat itu, setidaknya Allah Maha Mengetahui bahwa yang
dilakukan itu adalah upaya menjaga iman. Apakah terpikir oleh kita jika kita
melakukan usaha perubahan? Apakah Allah akan membiarkan kita bersama masyarakat
musyrik?
We can’t direct the wind, but we
can adjust our sail. Meski kesyirikan sulit kita hilangkan di dunia,
setidaknya bencilah kesyirikan dengan hati kita yang penuh keimanan.
24
Juli 2018
Editor: Ananda Musdalifah
Komentar
Posting Komentar