BIARKAN MENGALIR MENEMUKAN JALANNYA

 BIARKAN MENGALIR MENEMUKAN JALANNYA

Oleh: Ananda Musdalifah

 

Sumber: Dokumentasi Pribadi

“Kita pernah sama-sama berlabuh. Hingga masing-masing dari kita berlayar kembali mencari dermaga baru.”

        

Kalimat tersebut tentu akan cocok bila bertemu dengan orang-orang yang sedang mengalami patah hati. Namun, bagaimana jika kalimat itu justru timbul dan melekat pada seseorang yang baru kasmaran?

Tidak semua orang dewasa memiliki pengalaman merasa aman sejak kecil. Maka saat tumbuh dewasa, mereka terus berada dalam Survival Mode berkepanjangan. Mode bertahan hidup memang dibutuhkan untuk membantu seseorang menangani berbagai ancaman bahaya.

Mode ini akan membuat seseorang mengaktifkan respons hyperarousal, yaitu respons melawan atau lari dari keadaan berbahaya. Hal ini dapat membuat seseorang selalu memiliki kewaspadaan tinggi.

Namun kewaspadaan tinggi ini dapat memicu kecurigaan dan ketegangan berkepanjangan karena selalu dalam mode awas. Lebih dari itu, dampak utama dari survival mode adalah sabotase diri.

Orang yang terjebak terus-menerus dalam survival mode secara tidak sadar telah menyabotase diri sendiri dengan meremehkan kesuksesan dan kebahagiaan dirinya. Kewaspadaan yang seharusnya menjadi perisai, tetapi malah berbalik meruntuhkan diri sendiri.

Saat berada dalam survival mode seseorang akan menunjukkan beberapa pola.

Secara mental, seseorang menjadi tidak menikmati hidup karena sangat waspada, terus-menerus mencari tanda bahaya, dan lebih berfokus pada ancaman.

Secara emosional, dapat menimbulkan peningkatan kecemasan, ketakutan, atau kelelahan saat seseorang bergulat dengan ancaman yang dirasakan.

Secara pola perilaku, seseorang hanya akan fokus memastikan kepentingan untuk bertahan hidup, kemudian menarik diri dari interaksi sosial, mencari isolasi, atau mengambil sikap defensif dalam hubungan. Seseorang bisa saja terjebak lebih parah dan meningkatkan kewaspadaannya bahkan saat tidak ada ancaman bahaya apapun. Aktivasi respons stres berkepanjangan ini dapat menyebabkan melemahnya imunitas tubuh dan gangguan mood seperti kecemasan dan depresi. 

Hal tersebut tentu akan mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan manusia, termasuk hubungan asmara.

Orang yang memiliki pengalaman tidak menyenangkan sejak kecil cenderung kesulitan untuk merilis perasaan yang membuatnya tidak nyaman. Contohnya, lebih percaya untuk memendam masalah dan mencari solusi sendiri adalah jalan terbaik. Seringkali solusi yang diambil itu berbalut ketegangan, kewaspadaan, atau kecurigaan terhadap pihak lain.

Awalnya memang berfungsi untuk membentengi diri sendiri dari benturan rasa sakit yang mungkin akan terjadi, tapi akhirnya menjadi overdosis karena terbiasa mengaktifkan survival mode di setiap situasi. Membuatnya selalu berusaha mengambil langkah preventif dengan berspekulasi negatif terhadap sesuatu yang belum terjadi. Menimbulkan cemas dan stress berlebihan.

Terjebak dalam survival mode membuat saya kesulitan untuk terkoneksi dengan orang lain dan merasakan arti cinta sesungguhnya.

Saat awal pendekatan dan resmi menjalin hubungan saya sudah memikirkan perasaan saat patah hati nanti dan memprediksi penyebab putus hubungan akan seperti apa.

Lihat, orang gila mana yang langsung terbayang momen patah hati saat baru saja merasakan kasmaran?

Gangguan komunikasi, ketakutan menjalin hubungan/komitmen, dan tidak mudah percaya pada orang lain menjadi masalah yang sering saya hadapi. Namun di tengah kekacauan itu sebenarnya saya merindukan pengertian dan rasa memiliki.

Itulah yang memicu saya untuk menggali dan berbagi penjelasan bagaimana survival mode mempengaruhi kemampuan saya untuk mencintai dan dicintai. 

Dalam hubungan asmara, ketika merasakan sedikit saja ‘ketidakpastian’, otak saya langsung memutar banyak skema penyebab dan kemungkinan akibat yang akan terjadi.

Lantas mempertimbangkan banyak hal, misalnya, “Dia niat gak ya? Ini PHP gak sih? Apa aku ngilang duluan aja? Atau aku pergi sekarang aja ya?

Bahkan saat menerima kebaikan pun pikiran yang muncul tetap kewaspadaan, misalnya, “Dia baik begini ada maunya gak sih? Ini jebakan batman gak ya? Bakal sampai kapan nih dia akan melakukan hal-hal baik kayak gini?

Akibatnya, dalam masalah sepele atau bahkan saat terjadi hal baik pun, saya akan sulit hadir seutuhnya untuk menikmati sesuatu yang sebenarnya menyenangkan. Saya menyadari jika ini dibiarkan berlarut, lambat laun akan melemahkan fondasi hubungan yang sehat. 

Sebelumnya sempat kita bahas bahwa survival mode berdampak pada kondisi seseorang. Perubahan kognitif, mental, dan perilaku dapat terjadi akibat paparan berkepanjangan. Respons hyperarousal yang terus menerus tidak hanya mengganggu kemampuan kita untuk berpikir rasional, tapi turut membahayakan kapasitas kita untuk terlibat dalam hubungan secara otentik.

Saya sering kali memandang setiap interaksi melalui kacamata potensi bahaya. Sehingga dalam menjalin hubungan selalu dibayangi rasa takut, tidak aman, dan kelelahan emosional. Padahal rasa tenang dan saling percaya sangat diperlukan untuk merajut hubungan yang sehat. 

Rasa tenang dan saling percaya itu berkaitan pada cara seseorang menjaga keseimbangan untuk mengekspresikan perasaan dalam suatu hubungan. Keseimbangan yang dimaksud adalah self-preservation dan emotional vulnerability.

Orang yang terbiasa dalam survival mode pasti menerapkan batasan yang sangat ketat dalam menjalin hubungan dan enggan bersikap terbuka. Tujuannya untuk melindungi diri dari bahaya emosional, itulah yang dimaksud self-preservation.

Sementara normalnya manusia pasti ingin menunjukkan perasaan yang dialaminya. Baik itu perasaan senang, menyakitkan, perhatian, kepedulian, atau kekhawatiran. Seseorang butuh untuk menunjukkan dan menyampaikan perasaan yang sering tersembunyi rapi dibalik tampilan luarnya, ini yang disebut emotional vulnerability.

Di satu sisi, saya cenderung memiliki insting untuk selalu waspada dari bahaya emosional saat menjalani hubungan. Bentuk self-preservation ini memerintahkan saya agar tetap mengutamakan rasional dan tidak terbuai secara emosional kepada orang lain.

Tujuannya adalah untuk melindungi perasaan jika dikemudian hari terjadi sesuatu yang buruk atau pasangan meninggalkan, saya tetap merasa aman dan tidak begitu terpuruk.

Namun, kerap kali saya merasa seperti terpenjara. Saya menjadi sosok yang sering membeku dan terkesan kaku saat berhadapan dengannya. Terlalu banyak pertimbangan, membuat saya kikuk dan gengsi untuk menyampaikan sesuatu yang ada dipikiran.

Di sisi lain, saya ingin mengizinkan diri sendiri untuk mengungkapkan emosi secara gamblang kepada pasangan. Entah itu mengekspresikan rasa sayang dan rindu, ataupun sekedar memberitahu saya sedang merasa bahagia atau sedih. Saya ingin meruntuhkan tembok tinggi yang menutupi perasaan sesungguhnya. Saya butuh dimengerti agar merasa terkoneksi secara pikiran dan perasaan dengan pasangan.

Proses mengelola keseimbangan antara self-preservation dan vulnerability memang dilematis saat kita terjebak survival mode. Padahal keduanya merupakan elemen yang dibutuhkan untuk membentuk siklus hubungan yang sehat dan bermakna asal ternavigasi dengan benar.

Dampak yang ditimbulkan memang cukup kompleks. Setelah mengatasi permasalahan di atas, boleh jadi kita masih mengalami dampak berikutnya, yaitu gangguan komunikasi.

Kewaspadaan berlebih dalam segala situasi, membuat seseorang kesulitan terlibat dalam komunikasi yang jujur dan terbuka. Hal ini menyebabkan mati rasa atau penutupan emosi. Sehingga kita tidak mampu mengenali dan terhubung dengan perasaan kita sendiri.

Keterputusan emosi ini juga turut menyulitkan kita untuk memahami emosi orang lain. Akibatnya, komunikasi menjadi tegang, kedua pihak merasa tidak didengarkan, dan disalahpahami. Timbullah sikap defensif, penghindaran, dan agresi yang memperburuk gangguan komunikasi. Bukannya menciptakan komunikasi yang konstruktif, kita cenderung jadi menyalahkan, mengkritik, atau menarik diri sebagai langkah untuk melindungi diri. Terkikislah rasa kepercayaan yang seharusnya terjalin dalam suatu hubungan.

Orang-orang yang terjebak survival mode cenderung akan menyabotase diri baik disadari atau tidak.

Sabotase diri terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya kurang kepercayaan, keraguan pada diri sendiri, atau pola perilaku yang merusak.

Tindakan langsung yang terlihat misalnya mudah tersulut dalam konfrontasi, sementara dalam tindakan tidak langsungnya seseorang akan menarik diri secara emosional.

Tentu sabotase diri turut melemahkan fondasi suatu hubungan yang menyebabkan kehancuran. Perilaku sabotase/merusak hubungan yang kerap kali dipilih biasanya seperti menghilang (ghosting), sangat bergantung pada pasangan (codependency), selingkuh, dan berakhir pada putusnya hubungan.

Saya pun turut mengalaminya. Saat awal menjalin hubungan, saya sering menghilang dalam kurun waktu yang cukup lama. Menghilang dalam kasus saya tidak sama dengan ghosting, karena saya tidak bermaksud mengakhiri hubungan sepihak tanpa penjelasan.

Saat merasa kecewa, tidak nyaman, dan mendeteksi ‘potensi bahaya’ dalam hubungan yang saya jalani, alih-alih mengomunikasikan dengan pasangan, saya malah bersembunyi. Saya juga tidak mengerti mengapa bisa berkali-kali melakukan itu.

Saya merasa kecewa tapi tidak mengerti cara menjelaskannya.

Saya merasa tidak nyaman tapi tidak paham cara mengutarakannya.

Saya merasa ada hal janggal yang membuat saya berspekulasi negatif terhadap pasangan, saya ingin memastikannya, tapi tidak mengerti cara menguraikannya dengan benar.

Dalam benak saya, menghilang adalah cara terbaik agar pasangan bisa mengerti apa yang saya rasakan tanpa perlu banyak bicara.

Cara itu mungkin bisa men-trigger pasangan bahwa ada sesuatu yang salah, tapi tidak membuatnya mengetahui dengan pasti letak permasalahannya. Justru malah membuatnya bingung dan bertanya-tanya dalam ketidakpastian. Memberikan kerusakan emosional berupa tekanan psikologis.

Ketidakjelasan ini hampir membuat kami kehilangan kesempatan untuk memahami apa yang terjadi dan bagaimana menyelesaikan permasalahan dengan langkah maju yang konstruktif.

Meski demikian, pelan-pelan beberapa permasalahan tadi mulai terurai lebih jelas. Bisa dikatakan saat ini saya sedang berada dalam tahap memahami survival mode dan cara penyembuhannya.

Melalui kesadaran diri, saya belajar mengidentifikasi pola perilaku, pikiran, dan emosi yang menunjukkan bahwa saya sedang terjebak dalam survival mode. Saya sering merasakan kecemasan yang meningkat, kesulitan mengekspresikan emosi, dan kecenderungan bereaksi defensif dalam hubungan.

Dengan menyadari pengaruh survival mode terhadap kemampuan kita untuk terkoneksi dengan orang lain, membuat kita mampu mengambil langkah proaktif untuk menghentikan pola ini, lantas beralih untuk menjalin hubungan yang lebih sehat.

Ada tiga hal yang mulai dan sedang saya lakukan untuk ‘menyembuhkan’ dampak survival mode yang saya rasakan.

Pertama, menumbuhkan perhatian. Perhatian adalah praktik ampuh yang dapat membantu kita melepaskan diri dari pola reaktif, reconnect dengan perasaan cinta yang kita miliki, dan menanggapi tantangan hidup dengan bijak nan penuh kasih sayang. Sikap perhatian yang tumbuh akan membimbing kita jadi tidak mudah menghakimi serta mampu mengelola pikiran dan emosi.

Kedua, membangun kepercayaan. Kehangatan dan koneksi dalam suatu hubungan yang sehat dilandasi rasa saling percaya. Maka untuk membangunnya diperlukan konsistensi dan keterbukaan dari dua pihak. Meski survival mode membentuk kita menjadi egois, kita dapat membangun kembali kepercayaan dengan saling berbagi cerita mengenai pengalaman/aktivitas pribadi, menyampaikan kebutuhan/keinginan kita, dan menetapkan boundaries yang jelas. Ketika rasa kepercayaan dua pihak semakin dalam, hubungan yang terjalin akan menjadi lebih aman dan kokoh.

Ketiga, mengomunikasikan kebutuhan dan batasan (boundaries). Komunikasi tentu menjadi kunci dalam hubungan yang sehat. Kita harus berlatih untuk aktif saling mendengarkan, bersikap asertif, dan memvalidasi perasaan pasangan mengenai apa yang dibutuhkan/diinginkan oleh satu sama lain. Namun, tetap terapkan batasan (boundaries) yang jelas untuk bersikap tegas yang menjunjung self-respect.

Meskipun survival mode dapat menjadi penghambat yang merintangi pembentukan koneksi hubungan bermakna. Namun dengan tekad yang kuat kita bisa melepaskan diri dari pola yang menghambat itu. Kita bisa mempraktikkan komunikasi yang efektif, menciptakan hubungan yang didasarkan pada cinta, kepercayaan, dan saling menghargai.

Boleh jadi dalam proses penyembuhan ini saya dan kita semua akan mengalami jatuh-bangun. Sebab keluar dari suatu kebiasaan yang hampir mendarah daging bukanlah hal yang mudah. Penyembuhan adalah sebuah perjalanan, jadi tidak ada kata terlambat untuk memulai.

Terlepas dari tantangan yang ada, hal terpentingnya adalah kita menyadari dan terus mengupayakan perubahan ke arah yang lebih baik dalam setiap aspek hidup yang kita jalani. Masih tersedia harapan untuk masa depan yang dipenuhi cinta dengan hubungan antarmanusia dan kekuatan yang menyertainya. 



°° Terima kasih sudah membaca °°




 

       

 

 


Komentar