PENDOBRAK
IMPIAN - PART 1
Lhet mi intro..dhiuzh may zhelph.
May nembh is.. Ra.. Rabhu Kliwhuon. Ay.. Ay.. com frhuom Jhunior Haigh Sekkul
whan Widhodharen. Ay.. Ay.. A..”
“Ayya ‘alal falaahh..” celetuk
Bram, salah satu teman sekelasku. Teman-teman yang sedari tadi memang sudah
menahan tawa, langsung tertawa lepas. Buncahlah ruang kelas dengan tawa riuh
rendah mereka. Tinggallah aku yang mematung pucat pasi di depan kelas.
Aku tidak mengikuti Masa Orientasi
SMA pekan sebelumnya. Aku pindahan dari Widodaren, Jawa Timur. Hari itu hari
pertamaku di SMA, dengan jam pertama Bahasa Inggris. Jadilah aku memperkenalkan
diri tergagap-gagap dengan Bahasa Inggris berlogat Jawa tulen. Belum lagi, guru
Bahasa Inggrisku yang berkali-kali memastikan kalau ia tidak salah mendengar
siapa namaku. Membuat satu kelas kembali megap-megap dengan tawa.
Ya, namaku Rabu Kliwon. Apakah
terdengar aneh? Atau malah tidak masuk akal? Ah tidak juga, itu hanya nama
hari. Memangnya ada yang salah dengan nama hari. Banyak juga orang-orang di
luar sana yang menamai anaknya dengan nama hari dan bulan. Orang barat malah
menamai anaknya dengan warna dan sesuatu yang bahkan jauh lebih janggal.
Memangnya ada yang salah?
***
Mesin waktu selalu taat menjalankan tugasnya, terus berputar
tak pernah lelah. Tiba-tiba aku sudah menjejak tiga SMA. Sungguh tak terasa.
Aku mulai berbenah diri sedari dini. Mengurangi aktivitas yang kurang
bermanfaat. Menambah kapasitas waktu belajar. Mencari informasi, koneksi, dan
akses mengenai Perguruan Tinggi. Itu penting bagiku, aku tidak ingin menjadi
lulusan SMA yang tidak tahu arah, luntang-lantung, bingung memilih.
Sejak dulu aku selalu terobsesi dengan kompetisi dan menjadi
juara. Mengerahkan seluruh kelebihan dan potensi yang kumiliki. Kekurangan?
Lupakan tentang kekurangan! Apa pula pentingnya. Karena di SMA ini, kebiasaan
ini tetap berlaku. Ditambah teman-teman satu kelas yang selalu haus prestasi
dan sangat idealis. Membuat sengit persaingan.
Kalian tahu? Sejak kelas satu aku selalu berada dalam lingkup tiga besar, tidak
pernah turun. Sayangnya aku belum pernah menduduki peringkat satu. Gelar itu
masih langgeng bersanding dengan Tere. Gadis cantik berwajah oriental keturunan
Bandung-Palembang itu sempurna mempertahankan gelarnya.
Di depan kelas Edi sedang asik menyampaikan speech-nya, Miss Laksmi dan
teman-teman mendengarkan takzim. Lagi-lagi jam pertama Bahasa Inggris. Salah
satu dari daftar hal yang paling aku benci di dunia.
“Well, that’s all for the time being. May advantages for us. Thanks a lot for
your full attention to me. Good bye.” Edi tersenyum mengakhiri speech-nya.
“Okay very good, give applause.” Sambut Miss Laksmi diiringi
tepuk tangan yang meriah. Bel berderit,
pertanda berakhirnya jam Bahasa Inggris. Aku menyeringai senang. Yang lain
mendengus sebal sambil ‘ber-yaah’ kecewa.
Aku tahu, teman-teman sekelas selalu menunggu kesempatan ini. Kesempatan dapat
melihatku berbicara dengan Bahasa Inggris berlogat Jawa tulen, meski sekarang
sudah tidak terlalu tulen seperti dulu. Tetapi tetap saja itu selalu
menjadi hiburan menyenangkan bagi mereka.
“Okay class , I think enough. See you on the next meeting.” Ujar Miss Laksmi,
seraya bergegas meninggalkan ruang kelas. Aku masih menyeringai senang dibawah
dengus sebal dan tatapan kecewa teman-teman lain.
“Hoi Kliwon Jawa, kau apakan bel sekolah? Jangan-jangan kau gunakan jampe-jampe
buyung upik agar bel cepat-cepat berderit macam anak cacingan. Harusnya
sekarang giliran kau maju.” Ledek Bram setengah kesal tak sempat melihatku speech.
Bram, teman se-meja Edi, memang sangat mahir berbahasa Inggris. Dia juga pintar
diberbagai bidang. Sama sepertiku dan Tere, dia selau berada dalam lingkup tiga
besar. Kabar buruknya, Bram dan Edi selalu jahil meledekku, berseru-seru
memprovokasi teman-teman untuk ikut rencananya menjahiliku. Membuatku malu
bukan kepalang.
***
“Dan kelompok terakhir ada Bram Praha Agata, Theresia Lin, Junaedi
Kusumawijaya, dan Rabu Kliwon. Nah, untuk tugas minggu depan kalian buat jurnal
mengenai dampak terjadinya eksodus besar-besaran di suatu wilayah. Buatlah
jurnal semenarik mungkin, karena untuk penulisan jurnal terbaik akan berkesempatan
untuk diterbitkan.” Pak Tris menjelaskan tugas Bahasa Indonesia setelah membagi
kelompok
“Baik, cukup sekian untuk hari ini, terimakasih.” Pak Tris menutup jam Bahasa
Indonesia lalu bergegas meninggalkan ruang kelas.
Aku menoleh ke belakang ke arah Bram dan Edi. Lantas kembali ke depan menatap
lamat-lamat punggung Tere yang duduk tepat di depanku. Aku mendesah pelan.
Mengapalah harus satu kelompok bersama mereka?
“Lihat saja re, aku akan mengalahkan kau dan Kliwon.” Tiba-tiba Bram bicara
seraya berjalan ke arahku dan Tere. Kami berdua menoleh. Melipat dahi.
“Loh bukankah kita satu kelompok, Bram. Kenapa harus mengalahkan?” Sahut Tere
tidak mengerti.
“Lantas kenapa, kau takut?”
“Bukan begitu, tapi kan…”
“Aku juga akan membuat jurnal paling bagus. Lihat saja.” Kali ini aku
mengeluarkan suara, menyela pembicaraan Tere.
“Bagus. Kita buktikan jurnal siapa yang terbaik.” Edi datang, ikut dalam
pembicaraan.
Tere menoleh, menghela nafas. Tidak berkomentar.
***
Lagi-lagi Tere menghela nafas, terlihat kecewa.
Kami berempat terdiam. Jurnal yang kami buat tak ada satupun yang dianggap
terbaik oleh Pak Tris. Pak Tris bertanya mengapa sampai membuat empat jurnal,
padahal satu kelompok hanya perlu membuat satu. Kami saling tatap. Lantas
terdiam sampai jam Bahasa Indonesia usai.
“Seharusnya kita membuat jurnal bersama. Kalian tahu, tidak selamanya kompetisi
dan bersaing itu baik. Apalagi kita satu kelompok.” Akhirnya Tere berbicara,
sangat pelan, hampir tersaru dengan desing kipas angin.
Kami menoleh ke arah Tere. Aku merasa bersalah karena
ikut terlalu egois. Terpilih menjadi jurnal terbaik atau tidak memang bukan
masalah besar. Hanya saja egoisme kami yang terlalu besar, terlalu berlebihan,
lantas masing-masing merasa paling pintar, membuat kami melupakan arti
kebersamaan.
“Maaf Tere, harusnya waktu itu aku mendukungmu. Bukan malah ikut mengompori.”
Edi angkat bicara, meminta maaf.
“Ya. Dan disini aku yang paling bersalah. Aku akui itu. Jadi tolong maafkan.”
Bram ikut angkat bicara, meminta maaf.
“Sudahlah, ini hanya masalah sepele. Lupakan saja.” Aku. menghela nafas, lalu
mengusap wajahku yang kebas, “Mungkin ini memang salah. Tetapi bukankah tidak
ada yang salah ketika kita berbuat kesalahan. Menerima. Memaafkan. Dan belajar.
Itu lebih baik, bukan? Nah aku punya ide. Untuk menebus keegoisan kita ini
bagaimana jika kita berempat menjadi kelompok belajar saja?” Aku menatap
mereka. Menyeringai senang atas ideku.
“Maksudmu?” Mereka serempak menatapku, tertarik.
“Kita ini kelompok Bahasa Indonesia, kan?” Aku iseng balik bertanya.
“Lantas?” Mereka bertanya serempak, setengah sebal denganku yang iseng.
“Ya kenapa tidak kita jadikan saja ini kelompok belajar tetap disemua
pelajaran. Dengan begitu kita bisa menguasai pelajaran yang tidak kita kuasai
sejak dulu. Misalnya, kau Edi. Bukankah kau bodoh sekali berhitung, lantas
aku akan mengajarimu, atau kita bisa…”
“Enak saja, kau juga sangat bodoh berbahasa Inggris. Memangnya kau sudah pandai
berpidato bahasa Inggris, hah?!” Edi menyela pembicaraanku, sebal tidak terima.
“Nah justru itu. Kau bisa mengajariku, bukan? Kita bisa sama-sama belajar.
Setelah ku pikir-pikir, Tere benar. Tidak selamanya bersaing itu baik. Selama
ini kita selalu bersaing, saling mengalahkan. Hasilnya apa, begini-begini saja.
Kau pintar dibidang yang sedari dulu memang sudah kau kuasai, tapi dibidang
yang lain?” Aku tersenyum jumawa, sengaja menggantungkan kalimatku.
Mereka bertiga menatapku berbinar-binar. Di sebelahku Tere tersenyum. Ah manis
sekali senyumannya.
***
Desauan angin pagi yang dingin mengiringi langkahku di sepanjang koridor. Tetes
embun yang menggelayut di ujung dedaunan serta bau basah tanah berpadu padan
dengan begitu serasi. Musim penghujan tengah berkuasa saat ini.
“Wuih, pagi benar kau datang?” Edi nongol di daun pintu, berseloroh bicara
melihatku datang. “Untuk apa kau datang sepagi ini, bukankah jam pertama hari
ini adalah salah satu hal yang paling kau benci di dunia?” Lalu Edi pura-pura
mengernyitkan dahi, “Ah, benar kata orang tua dulu. Ketika kau terlalu membenci
sesuatu, boleh jadi nanti kau akan jatuh cinta pada sesuatu itu. Wah apa
jangan-jangan kau telah jatuh cinta pada Bahasa Inggris, Kliwon?” Edi pura-pura
terkejut, konyol sekali ekspresinya. Aku menyeringai, lalu kami tertawa hangat.
“Kau tahu, Edi? Bram berkali-kali bilang aku harus terbiasa menyukai Bahasa
Inggris agar mudah mempelajarinya.” Sahutku setelah tawa mereda.
“Jadi itu sebabnya kau datang sepagi ini?”
“Ya. Hari ini penilaian news reading, bukan? Bram mau aku datang pagi.
Akan lebih rileks untuk orang sepertiku jika datang diwaktu luang.” Jelasku
asal. “Sudahlah jangan banyak tanya. Kau macam wartawan acara gosip saja. Urus
saja matematika kau. Berapa nilai kau kemarin, empat lima? Astaga memalukan
sekali. Pulang sekolah nanti kita belajar.” Aku menyengir, telak sekali
ucapanku. “Nah, kau sudah sarapan?”
Edi menggeleng, raut wajah bekas tawanya hilang karena aku menyebut nilai
matematikanya.
“Kalau begitu, ayo kita ke kantin. Ku traktir.” Aku langsung melangkah. Edi
menatapku berbinar, beringsut menyejajari langkahku.
Tiga bulan terakhir kami intens belajar bersama. Melupakan semua hal berbau
ambisi dan kompetisi untuk saling mengalahkan. Saat ini rasanya itu tidak perlu
lagi. Kami percaya, ilmu dan kebaikan sejatinya seperti air yang mengalir.
Selalu memberikan keberkahan. Kalian tahu bagaimana terjadinya siklus
air? Nah macam itulah ilmu dan kebaikan jika kita mau saling berbagi.
Kini Bahasa Inggris sudah ku hapus dari daftar hal yang paling aku benci di
dunia. Ternyata menyenangkan jika bersama-sama memahaminya, bahkan terasa lebih
mudah. Begitu pun Tere, dia semakin rajin berlatih menulis. Nilai Bahasa
Indonesianya pun berangsur membaik. Bram yang kukira paling sempurna, ternyata
‘takut ketinggian’. Kami yang baru tahu, iseng mengajaknya menaiki
gedung-gedung tinggi, bermain flying fox, wall climbing, sampai duduk
diatas tugu monas. Seru sekali melihat wajahnya yang setiap hari tampak gagah
menjadi pias, lemas kuyu tak berdaya.
Edi yang selama ini alergi pada pelajaran eksak, kini justru rajin
sekali berlatih. Belajar bersama. Konsultasi pada guru-guru bersangkutan, tak
peduli pada situasi apapun. Pernah satu hari, saking semangatnya Edi memaksa penjelasan
pada guru matematika yang hendak ke toilet. Menahannya hampir setengah jam.
Guru matematika muda yang cantik itu sampai berkeringat dingin pucat pasi.
Tiba-tiba terdengar suara halus yang mungkin tak tertahan lagi, terciumlah bau
yang semerbak. Guru cantik itu langsung terbirit-birit ke toilet, hampir dua
jam tak keluar. Entah apa sebabnya, sampai dua minggu kemudian, guru itu tak
masuk ke sekolah. Membuat nilai Edi kembali terjun bebas.
.... bersambung ....
#OneDayOnePost
#ODOPBATCH5
Komentar
Posting Komentar