ROLLER
COASTER YEAR: Perjalanan dari Guru ke Buruh
Oleh:
Ananda Musdalifah
Thank You My Roller Coaster Year..
Tidak
ada satu pun manusia yang mampu meramalkan dengan pasti apa yang akan terjadi
pada dirinya esok hari. Oleh karenanya, manusia selalu rajin menyiapkan
rencana, target, dan harapan yang melangit.
Saya
pun termasuk salah satunya.
Sebelum
memasuki 2022 saya membuat sebuah resume perjalanan 2021 yang menurut saya
cukup berliku. Tak lupa saya selipkan harapan untuk perjalanan selanjutnya
menyambut 2022. Namun entahlah, saya harus bersyukur dan berbahagia, atau
sebaliknya. Pasalnya nyaris seluruh harapan itu terkabulkan tahun ini. Siapa
sangka?
Harapan itu klise sekali. Harapan yang sesungguhnya sedikit menyedihkan saat terkabulkan. Dengan bodohnya saya memohon harapan untuk tidak banyak membuat harapan. Harapan untuk siap atas sebuah kehilangan.
Harapan
yang saya kira sudah sangat sederhana sehingga tidak perlu menuai kecewa.
Bahkan dengan bodohnya, saya mengatakan harapan untuk tidak ingin lagi berharap
meraih banyak kesempatan dan kebahagiaan. Benar-benar tidak masuk akal.
Namun
pada akhirnya terlintas juga sebuah protes menuntut dispensasi, “... ralat ya Tuhan, sesungguhnya hamba-Mu
ini tak cukup mampu, ...”
Meski
demikian, roller coaster tak selalu soal kengerian yang memacu adrenalin.
Roller coaster juga memberikan sensasi baru nan menakjubkan yang turut memacu
dopamin.
So, here we go.
***
Everything start from 00:00. 01 Januari 2022.
Dimulai
dari harapan “.. tidak ingin berharap
mendapat pekerjaan dengan gaji impian, ..”
Padahal
sesungguhnya saya ingin mendapatkannya, terlebih setelah lulus S1. Maka saya
sudah sibuk sejak akhir tahun melamar berbagai pekerjaan. Mengikuti rangkaian
seleksi dari satu lowongan ke lowongan yang lain. Entah mengapa saya harus
membohongi diri sendiri dengan melangitkan harapan yang bersebrangan dengan
keinginan sesungguhnya.
Januari
ini saya menerima tawaran menjadi pelatih English Club di SMA. Saya juga masih
bekerja di Bimba saat itu. Tentu dengan niat segera resign untuk mencari better offer, pekerjaan dengan gaji yang
serius. Selama ini saya selalu bekerja dengan gaji yang becanda. Saya mengakali
dengan membesarkan hati bahwa saya masih kuliah sehingga tidak masalah jika masih
bekerja dengan gaji seperti itu. Namun, tidak lagi sekarang.
Saya
meladeni berbagai macam panggilan kerja dengan antusias. Tidak peduli linear
atau tidak dengan riwayat pendidikan. Online
atau offline.
Herannya,
setiap kali sesi wawancara dengan rekruter saya selalu di ping-pong. Di berbagai bidang pekerjaan, rekruter selalu bilang
saya lebih cocok di pendidikan, ditanya kenapa tidak melanjutkan saja, you already at the right place.
Sementara itu, kenyataan hidup bilang, “kamu
mau gini-gini aja?”
Dan
saya memilih berdalih sekali lagi.
Tidak
sia-sia juga. Akhirnya saya dapat penawaran kerja sebagai Repoter Tribun
Banten. Menjadi wartawan? Siapa takut!
Saya
diminta untuk bergabung di pertengahan Januari. Saya menawar bergabung di awal
Maret karena harus menyelesaikan urusan di Bimba lebih dulu. Tapi karena mereka
butuh segera, saya diminta segera bergabung di awal Februari. Take it or leave it.
Penyakit yang muncul dari hadirnya
pilihan adalah keraguan. Sementara nekat dan terdesak oleh keadaan adalah obat
penawar yang menawan.
As you can guess. I take it. Dengan
segala risiko dan tantangannya.
Saya
mengabari penawaran kerja ini pada orang tua. Ditanggapi dengan warning untuk tidak perlu dilanjutkan.
Tapi karena bentuknya hanya rekomendasi untuk jangan melanjutkan, saya
memutuskan untuk tetap menandatangani offering
letter dan melengkapi berbagai berkas untuk kontrak kerja.
Sementara
di Bimba, saya diminta untuk mematuhi proses penyelesaian tugas sampai akhir
Februari agar gajinya tetap dibayarkan. Cukup dilematis. Saya butuh gaji Bimba
untuk pegangan kerja di Tribun, tapi rasanya mustahil untuk menggenggam
keduanya.
Sambil
memikirkan bagaimana keputusan terbaik yang akan saya ambil, saya merileksasi
diri dengan bermain-main. Menghadiri Kongres Ikadubas dan menyelesaikan
kepengurusan. Ikut serta ke Bandung di acara PeaceGen. Hangout dengan guru-guru Bimba. Dan tetap meladeni panggilan interview online dengan gaya. Dalam dua
kali interview saya bertingkah tengil
menjadi diri saya sendiri. Rasanya puas sekali mampu menjawab pertanyaan
rekruter apa adanya. Tidak gentar mengatakan ‘tidak’ atau menawar gaji sesuai
keinginan, langsung tanpa menggunakan bahasa diplomatis. Mungkin terkesan
kurang sopan, but it’s one of the worth
it thing that I ever (also can) do. Tentu
interview itu berakhir dengan
penolakan.
Allahumma
khirli wakhtarlii. Allahumma as alukat taufiqo limahabbika minal a'mali wa
shidqot tawakkuli 'alaika wa husnazh zhonni bika.
"Ya
Allah, pilihkanlah untukku (yang lebih baik) dan pilihlah untukku. Ya Allah,
aku memohon pertolongan kepada-Mu untuk mengerjakan amal-amal yang Engkau
cintai, kepasrahan yang benar kepada-Mu, dan berprasangka yang baik
kepada-Mu."
Saya
menutup Januari dengan keyakinan. Jika
keyakinan tidak dibahas, maka hilang sebagian dari diri manusia.
***
Move to
.. Februari.
Y
todo lo que hagamos con el alma. Será para nuestra calma.
Saya
menjadikan cuplikan lirik lagu Mi Amor itu sebagai caption Instagram untuk
sepuluh slide foto saat di Bandung. Semua yang kita lakukan dengan jiwa memang
bertujuan untuk meraih ketenangan.
Di
permulaan, saya merasa everything goes
beyond my expectations. Allah gives suprise that unpredicted, unexpected,
unbelievable. This is not about what I like, but what is best to me.
Saya
mengabari rekan-rekan di Bimba, tanggal 2 Februari saya sudah mulai bekerja di
Tribun. Disaat bersamaan saya mengakali agar tetap bisa bekerja di Bimba sampai
akhir Februari bagaimana pun caranya. Pagi-pagi saya datang ke Bimba. Kebetulan
saya diminta memantau dan men-training
tiga guru baru untuk unit Balaraja. Lalu saya berangkat ke Serang. Syukurlah
saya punya teman-teman kerja yang baik dan mau membantu.
Hari
pertama setelah mengurus berkas, saya langsung mendapat training dasar jurnalistik dan kode etik wartawan. Sebelum jam
makan siang saya sudah disuruh turun ke lapangan untuk meliput. Materi liputan
perdana saya adalah membuat feature
tentang Masjid Agung Ats-Tsauroh Serang dan biografi jurnalistik imam masjid.
Dua tulisan di hari pertama yang langsung dipublikasikan. Berikutnya berlanjut
dengan target liputan dan tulisan yang ditambah. Mas Agung bilang reporter di
sini ditarget menghasilkan tulisan sekitar lima sampai tujuh sehari.
Saya
menyukai pekerjaan ini. Menggali informasi dasar. Mengamati. Mewawancarai.
Berkomunikasi dengan para narasumber. Meramu tulisan. Rasanya puas dan ada
kebanggaan tersendiri saat nama saya tertera pada tulisan yang dipublikasikan.
Tidak ada kendala serius dengan proses training,
liputan, atau penulisannya.
Saya
justru terkendala dengan kendaraan. Proses liputan ini harus menggunakan
kendaraan pribadi. Saat rekrutmen memang sudah dijelaskan. Dan seperti biasa,
saya selalu bilang bisa-bisa-bisa. Pakai angkot dan ojek online sangat menguras uang, melelahkan, dan gak praktis. Akhirnya
saya bilang ke orang tua tentang kendala ini. Berharap bisa dipinjamkan motor
untuk dipakai kerja.
Boom!
Tidak bisa. Tidak disetujui. Disuruh berhenti. Namun, saya tetap lanjut esoknya.
Meminjam motor rekan editor yang terlihat sudah mulai sebal terus-terusan
dipinjam. Juga khawatir karena saya belum buat SIM. Padahal Mas Agung mau bantu
untuk buat SIM pakai relasinya, jadi gak akan ribet, lama, dan lebih murah.
Seminggu
ini saya pergi pagi-pagi ke Bimba memantau dan men-training, setelah itu berangkat ke Tribun untuk di-training, lalu turun liputan ke lapangan
sesuai instruksi, kembali lagi ke Tribun lanjut nulis dan publikasi. Sampai di
rumah malam. Capek otak iya, fisik lebih lagi, mana uang pas-pasan buat makan,
ongkos, dan bensin untuk motor pinjaman. Pulangnya kena omelan. Tak pelak lagi.
Ayah
marah. Mama khawatir. Ayah bicara keras dan panjang lebar menyuruh berhenti
bekerja di sana. Bukan lagi ultimatum, tapi perintah. Berisiko menjadi
wartawan. Bercerita tentang pengalamannya menjadi wartawan dulu. Satu dua aku
menjawab membela diri. Selebihnya diam, mendengarkan. Mama setuju dengan Ayah
kali ini.
Saya
tidak pernah kesal dengan omelan itu. Saya meyakininya sebagai wujud perhatian
dan kasih sayang. Yang membuat kesal adalah kebimbangan saya dalam memutuskan.
Setelah melalui proses cukup panjang, merasa sia-sia sekali langsung menyerah
begitu saja. Saya juga bingung ke mana saya harus melangkah selanjutnya.
Sementara Ayah dan Mama berulang kali bertanya, “Emang mau di Bimba terus? Gak mau cari kerja yang lain?”
Saat
itu saya sedang reaktif dan sensitif, saya menganggap pertanyaan mereka adalah
tuntutan yang sulit saya penuhi. Merasa seperti anak yang tidak berguna.
Padahal saya sudah berusaha cari kerja kesana kemari. Maka saya selalu sengit
menanggapinya. Padahal seharusnya saya bisa menjelaskan sedikit saja lebih baik.
Toh, mereka hanya bertanya. Tapi saya terlanjur menanggapi dengan kenegatifan.
Akhirnya
saya memutuskan untuk berhenti menjadi reporter. Selain berat tidak punya kendaraan,
saya merasa tidak percaya diri karena tidak mengantongi restu orang tua. Saya
menghubungi Mas Agung dan HRD. Mereka menyayangkan, agak kesal, tidak terima,
tapi tetap memaklumi dengan sangat baik. Terima kasih Mas Agung dan Mas Denny.
Saya
kembali full time bekerja di Bimba.
Lalu Sabtu atau Minggu mengisi English Club. Takdir seolah menyeret saya agar
tak boleh jauh dari pendidikan. Seperti sudah digariskan menjadi guru.
I used to think life was a tragedy,
but it’s a comedy.
Posisi
di Bimba, lingkungan, dan teman-teman yang saya miliki di sini sebenarnya sama
sekali tidak buruk. Justru ini jadi pekerjaan cukup fleksibel ternyaman dengan
teman-teman yang menyenangkan. Saat itu, Bimba benar-benar jadi rumah kedua,
baik tempat maupun orang-orangnya.
Sebenarnya
bisa saja saya membatalkan pengajuan resign ini untuk cari aman. Manajemen
pusat juga masih belum menginformasikan siapa penggantinya. Rekrutmen dua guru
baru juga terkendala. Tapi saya tetap memilih untuk pergi dan menyelesaikan
pengajuan resign sampai akhir Februari. Entahlah, saya tetap ingin mencoba
melawan arus. Saya penasaran, apakah menjadi guru adalah takdir yang
benar-benar mutlak digariskan?
“Yang
demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang
telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada
pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui,” (QS. Al-Anfal: 53)
Seolah
sebagai tanggung jawab terakhir, saya seperti diperas lebih kencang dari
biasanya. Saya diminta mencari kontrakan baru untuk Bimba. Mencari dari satu
tempat ke tempat lain. Begitu di-acc saya diminta terus koordinasi soal harga,
bangunan rumah, listrik, dan macam-macam. Saya bolak-balik ke PLN untuk urus
listrik kontrakan baru.
Sampai
akhirnya jadi, kami pindahan ke kontrakan baru. Saya pun ikut packing dan beres-beres. Padahal
sebentar lagi saya akan resign. Namun baiklah, seru juga. Hitung-hitung
dedikasi terakhir.
Sedih
sekali momennya bisa kebetulan bersamaan. Saya berhenti. Bimba pun pindah.
Hampir dua tahun di sana, benar-benar jadi rumah. Sering menginap di sana. Menyelesaikan
skripsi. Numpang mandi dan nyuci. Kalau ada teman jauh, bukan disuruh ke rumah
malah ke Bimba. Setiap pusing larinya ke Bimba menyendiri. Teman-teman yang
support dan mengerti. Ngobrol random juga asyik. Ngobrol serius balik ke random.
Ketawa ketiwi soal anak-anak.
Saya
juga dapat surat perpisahan yang ditulis tangan panjang lebar dari Bu Sinta. Meski
geleng-geleng karena niat banget nulis padahal bisa ngomong langsung, tapi
seneng dan teharu juga. Dari dulu penasaran gimana rasanya dapat surat cinta.
Akhirnya dapat juga, walaupun bukan surat cinta sih.
Pokoknya
terima kasih Bu Nisa, Bu Feby, Bu Elvin, Bu Nilah, Bu Ulfi, Bu Sinta, Bu
Eldina, Bu Elma, Bu Puja, Bu Zia. Dari yang risih dan gak mau dipanggil Ibu
sampe jadi kebiasaan. Love you so much
girls! Thank youuuuuuuu for thousands.
Februari
ini diakhiri dengan foto studio dan mengirim belasan lamaran di linked in,
jobstreet, e-mail. Dengan harapan semoga Allah berbaik hati dengan segala
kekuasaan-Nya.
“Dan
milik Allah kerajaan langit dan bumi; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Imran: 189)
***
Perjalanan
hidup kita selalu tentang RA.HA.SIA.
Rasa. Hari. Manusia. Mengungkap
rahasia berikutinya... Maret.
Mendekam
di rumah selama enam hari dengan gelar baru sebagai pengangguran. Enam hari
yang saya isi dengan mengirim belasan lamaran setiap harinya di berbagai platform jobseeker. Lulus S1 rupanya
tidak menjamin kehidupan karir lebih gemilang.
Penat
sekali membayangkan tidak dapat melakukan banyak hal. Resah sekali saat tidak
bisa membantu banyak kebutuhan di rumah, karena harus terpaksa mengkhawatirkan
diri sendiri lebih dulu. Saya berhemat habis-habisan. Semakin perhitungan.
Walaupun diterima kerja, kita harus tetap punya modal untuk biaya hidup sebelum
gajian pertama kan? Saya bukan kebanyakan anak yang diberi kemudahan meminta
atau meminjam. Maka saya terpaksa membatasi kontribusi ke rumah. Sangat
berhemat. Ketahuilah, saya sendiri merasa sakit hati bertindak sepelit itu.
Money can’t buy happiness. But,
money can buy some form of happiness; a good sleep, peace of mind, freedom,
time.
Money can’t solve all problems. But,
money can solve money problems; sandang, pangan, papan.
Money can’t buy happines. But,
money can reduce our pain, stress, anxiety.
Keterbatasan
uang membuat saya kekurangan banyak hal. Kurang bisa tidur nyenyak, pikiran
tidak damai, tidak bebas, terbelenggu oleh waktu.
Keterbatasan
uang membuat saya merasa tidak berguna dengan ketidakmampuan menyelesaikan
permasalahan sandang, pangan, dan papan keluarga.
Keterbatasan
uang sempurna meningkatkan rasa sakit, stress, dan cemas setiap waktunya.
Dan
keterbatasan uang memaksa saya memproduksi rasa sabar lebih banyak dari
biasanya.
“Dan
Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang
yang sabar.” (QS. Al
Baqarah: 155)
Meski begitu, saya tidak mampu lebih banyak lagi
memproduksi kesabaran dan memilih pergi. Momen menganggur ini mungkin timing yang tepat untuk melakukan
perjalanan jauh.
Saat
ada waktu dan badan sehat, tidak punya uang.
Saat
badan sehat dan punya uang, tidak ada waktu.
Saat
punya uang dan waktu, badan sakit.
Dan saya nekad memilih yang pertama.
Destinasi pertama yang saya tuju adalah rumah
Dinda. Egois memang, menyelamatkan diri dari tuntutan berkontribusi di rumah.
Berbekal keegoisan itu saya percaya Allah akan memberi rezeki-Nya walau bukan
melalui saya. Pasti akan ada jalannya.
Saya sudah mengatakan niatan ini ke Mama beberapa
hari sebelumnya. Sementara Ayah, saya mengatakannya di perjalanan saat Ayah mengantar
ke stasiun.
Beberapa hari singgah di Cibinong. Menjadi
parasit yang numpang tidur dan makan gratis di sana. Lalu saya berangkat ke
tujuan selanjutnya: Jogjakarta. Tanpa tujuan apapun. Kalaupun ada, tujuan saya
hanya ingin melakukan perjalanan jauh. Menikmati lari dari hiruk-pikuk ambisi
yang membuat penat kepala. Budget
yang saya anggarkan Rp550.000. Menumpang kereta ekonomi paling murah.
Sendirian.
Karena jadwal kereta berangkat 06.20, malamnya
saya sudah tiba di Stasiun Senen. Sebelumnya saya sudah mengontak Wanda saat
terpikir ingin melakukan perjalanan ini. Kebetulan juga dia tinggal di Sunter
Agung. Kabar lebih baiknya, dia selalu welcome
untuk membantu. Wanda menjemput saya ke stasiun, lalu menuju kostnya untuk
taruh barang-barang bawaan. Setelah itu saya diajak makan dan ditraktir pula.
Sempurna menjelma parasit.
Selesai makan, Wanda kembali mengantar saya ke
kostnya sementara dia menumpang tidur di rumah kerabatnya di daerah Jakarta
Timur. Dia juga menawari untuk mengantar saya ke stasiun besok subuh padahal
dia harus berangkat kerja pagi. Bolak-balik demi teman super merepotkan ini. It’s such a blessing to having you as my
friend since we were college. For many helps you’ve done so far, I always need
to say; Thank you, Wanda.
Saya
melanjutkan perjalanan dan tiba di Stasiun Lempuyangan 15.20. Kali ini saya
merepotkan teman SMA yang juga selalu baik hati membantu. Gerris menjemput saya
di stasiun, lalu kami menuju kostnya. Saya menginap di sana, bercerita banyak
sampai tidur. Saya bukan hanya merepotkannya untuk menjemput dan menumpang
penginapan gratis, dia juga ikut menemani saya keliling Jogja. Paket lengkap
gratis teman ngobrol, tour guide, dan
kendaraan. Malam terakhir di Jogja kami berkunjung ke asrama Wahyu, bertiga
makan ayam geprek asam manis, lalu berakhir di alun-alun.
Niat
awal saya hanya ke Jogja. Tapi berkat mereka, perjalanan ini tidak berhenti di
situ. Menambah satu personel, Dyah, esok pagi kami pergi ke Solo. Rumah Opi.
Selesai
di Solo, kami kembali melanjutkan perjalanan ke Tawangmangu. Niatnya solo trip
malah jadi konvoi kecil-kecilan. Saya, Gerris, Wahyu, Dyah, Opi, dan Lintang.
Berenam menjemput pemandangan indah dengan jalan menanjak dan pulangnya
dihadang badai hujan.
Malamnya
setelah istirahat, ngobrol ngalor ngidul, dan makan, Lintang dan Wahyu pisah
haluan.
Tujuan
kami berempat esok paginya adalah renang di Umbul, Klaten. Sekalian menjemput
tempe mendoan dan Selat Solo.
Sorenya
Gerris dan Dyah pisah haluan kembali ke Jogja. Setelah itu saya menginap
semalam di rumah Opi. Esoknya sampai malam Opi menemani wisata kuliner
kecil-kecilan dan memburu oleh-oleh. Sekali lagi saya dapat paket lengkap gratis
untuk penginapan, tour guide, teman
ngobrol, dan kendaraan.
Besok
malam saya sudah harus pulang. Jadwal keretanya 21.20.
Paginya
Lintang mengajak saya dan Opi main ke Salatiga. Padahal kami tahu dia kurang
tidur. Setelah perjalanan kemarin dia langsung lanjut kerja trip rombongan
ziarah ke Cirebon. Seolah manusia super, bukannya istirahat dia malah mengajak
berpergian, yang otomatis kami tolak.
Tapi
namanya juga Lintang, sorenya dia tetap datang ke rumah Opi. Setelah isya dan
saya selesai packing, kami keluar cari makan. Saya meminta untuk makan di
Padang Murah yang bisa ambil sendiri ala prasmanan. Selain penasaran, tentu
saya mengincar harga yang murah. Tapi kami malah ditraktir Lintang. Jadi jauh
lebih murah hehehe. Setelah itu kami mampir beli dimsum. Saya bungkus untuk
perjalanan di kereta. Setelah selesai mereka berdua mengantar ke Stasiun
Purwosari.
Untuk
Gerris, terima kasih sudah antusias menyambut kedatangan di Jogja dan
obrolan-obrolan yang menarik. Terima kasih selalu jadi tuan rumah yang baik
sejak SMA. Kue-kuenya selalu di hati, walau daku jarang beli. :’)
Wahyu
si mantan pengantin wisuda yang rese, terima kasih sudah selalu mengompori
kapan main lagi ke Jogja.
Dyah
temen Gerris, nice to know you in this
trip.
Opi,
terima kasih sudah mau direpotin dan turut serta bersusah payah cari oleh-oleh,
bercerita love life Anda yang sangat mind-blowing.
Lintang
si super humble ke semua orang. Semoga karir di travelnya lebih gemilang.
Semoga juga tahun ini bisa ketemu lagi sesuai rencana di Bromo dan Kawah Ijen
ya. Aamiin! Hahaha.
Selanjutnya
saya melakukan perjalanan 12 jam. Kembali ke Cibinong.
Eits,
walaupun jalan-jalan, Saya tetap rajin mengirim lamaran setiap harinya, Dinda
juga ikut rajin membantu. Saya mulai mendapatkan berbagai panggilan interview dan tes online lagi. Saking
frustrasinya dua minggu jadi pengangguran, saya sempat pasrah bergabung jadi
kasir Toko Oleh-oleh Lapis Talas Bogor. Astaga!
Sekembalinya
di Cibinong saya sedikit berfungsi kali ini, karena Dinda sebentar lagi
melahirkan anak ketiga. Maka saya berperan jadi pengasuh dua anaknya saat dia
kontrol dan melahirkan di rumah sakit. Hitung-hitung sedikit bayar jasa setelah
makan gratis selama ini.
Sebelum
Dinda melahirkan kami pulang ke Cikande, pernikahan adik suaminya. Saya ikut
pulang ke rumah. Kembali ditanyai Ayah dan Mama soal kerja. Dan saya kembali
menjawab dengan sungut-sungutan karena belum juga menemukan. Nasib.
Singkatnya,
setelah Dinda melahirkan. Saya mulai mendapatkan dua panggilan kerja yang lebih
serius. Dua-duanya menjadi guru. Padahal saya jauh lebih banyak melamar di
bidang administrasi perkantoran, entah mengapa selalu berakhir dengan menjadi
guru.
Lelah
juga mencoba melawan arus. Menganggap ini sudah jadi hard destiny yang tak bisa dihindari, saya pergi memilih menghadiri
panggilan tes dan interview pertama
dari MLI di kawasan PIK. Bogor–Jakut dengan moda KRL dan Transjakarta butuh
waktu tiga jam lebih.
Setelah
melakukan tes dan interview, saya
pasrah dan tidak terlalu berharap. Karena sistem di sini terlihat agak
‘mengerikan’. Terlalu elit untuk otak dan kemampuan saya yang pas-pasan. Saya
mungkin bisa percaya diri dengan hasil tes tulis, tapi tidak dengan interview dan tes microteaching-nya.
Kalau
dilihat sekilas memang keliatan lancar dan saya bisa menjawab dengan cukup
baik. Tapi karena tahu dua pewawancara ini berkompeten, saya tidak terlalu
berharap dengan tata bahasa saya yang ngawur. Saya cukup berbangga dengan ‘confident’ yang saya miliki, setidaknya
menyelamatkan saya untuk berani menyelesaikan sesi hari itu tanpa terlalu
memalukan. Namun, setelah beberapa hari saya dipanggil kembali untuk tes
selanjutnya.
Saya
datang dengan lebih semangat. Kali ini interview
dan tes microteaching lebih serius.
Karena sudah kedua kali dan sudah lebih prepare,
performa saya lebih baik dari sebelumnya. Saya feeling akan diterima. Yup, benar! Menunggu sekitar 30 menit
setelah tes, saya dipanggil kembali untuk negosiasi gaji dan ketentuan lainnya.
Saya diterima. Mulai training 4 April.
Sapiens modern seringkali bilang,
“Kita harus berani melawan arus. Penting!”
Namun aku ingin berdamai dengan
arus saja. Bersama menjelma kincir mikrohidro. Menjelma listrik. Menjelma
cahaya.
Perjalanan
menganggur sebulan ini terlewati juga. Masa bodoh dengan takdir kembali menjadi
guru. Terima sajalah. Lagipula kali ini saya akan menjadi guru dengan sensasi
berbeda. Mengajarkan bahasa Inggris ke anak-anak yang jauh lebih jago bahasa
Inggrisnya. Entah, apakah ini bunuh diri.
Maret
superseret ini berakhir dengan kesempatan melepas gelar pengangguran.
“Barang
siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa
yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS. Ath-Thalaq: 2–3)
***
Becoming a real crazy, not a ‘crazy
rich’, starting at... April.
Sebelum
mulai training tanggal 4, saya
kembali pulang. Tentu untuk memberi tahu kabar cukup baik ini. Mama bertanya apa
gak terlalu kejauhan dan capek dari Bogor ke Jakarta pulang pergi setiap hari. Ayah
bertanya gaji, jenjang karir, sistem, dan kenapa mau stay di sini. Apa rencana dan tujuan saya setelah itu.
Sebetulnya,
kalau saat itu pikiran saya bisa sedikit lebih rileks, pertanyaan-pertanyaan
itu sangat menyejukan. Seharusnya saya bisa menjelaskan, berdialog, dan
bertukar pikiran dengan lebih baik. Namun sebaliknya. Otak saya malah
mentransmisikan arti negatif. Merasa memiliki orang tua yang serba salah. Tidak
menghargai upaya anaknya. Tidak pernah support.
Selalu menuntut. Dan macam-macam kenegatifan. Pikiran yang sangat disayangkan.
Kemarin, hari ini, besok, bulan
depan, tahun depan, dan masa depan.
Kita gak pernah bisa berharap untuk
terus didukung oleh orang yang sama, kelompok yang sama, circle yang sama, tim
yang sama, rumah yang sama.
Bahkan saat ini saja kita gak
pernah bisa tahu isi hati dan pikiran mereka sebenarnya.
Siapa yang bilang kalau hidup ini
bukan perlombaan?
Saya
sengaja pulang ke rumah agar bisa melewati hari pertama ramadhan bersama
keluarga. Tanggal 4, Ayah semangat ingin mengantar dan melihat tempat kerja
saya. Kami berangkat setelah subuh. Dari rumah sampai Balaraja dibonceng Ayah
dengan motor, padahal kondisinya tidak cukup baik. Saya sempat misuh-misuh,
karena setelah menunggu lama bus arah Kalideres tidak kunjung datang. Ayah
terlihat berpikir alternatif lain. Lalu memutuskan naik Transjabodetabek
(seperti mobil carry) rute Balaraja–Grogol. Dan kami berkali-kali tidak
kebagian mobil dan berebut dengan banyak orang. Benar-benar Senin pagi yang hectic.
Semakin
kesal dan uring-uringan. Ayah benar-benar berebut kali ini dan mengambil koper
yang saya pegang. Begitu mobil selanjutnya datang, Ayah langsung ikut
berdesakan. Kursi yang didudukinya diberikan ke saya. Tidak ada kursi lagi yang
tersedia, Ayah disuruh keluar oleh sopir. Tapi Ayah tetap keukeuh masuk dan berdiri mepet dengan pintu masuk. Penumpang lain
hanya geleng kepala.
Sampai
Grogol, kami naik Transjakarta menuju Harmoni. Transit dan lanjut ke PIK. Kami
berdiri. Tujuan Ayah ingin melihat tempat kerjaku gagal total. Bus padat dan
posisi berdiri kami terpisah jauh. Saya kesulitan mencari Ayah saat hendak
turun karena berjubel dengan penumpang lain. Ayah juga tidak punya ponsel lagi
untuk ditelepon. Akhirnya saya turun tanpa Ayah.
Tapi
tidak ada yang sia-sia. Momen itu adalah perjuangan terakhirnya mengantar saya
untuk menghadapi fase hidup selanjutnya. Perjuangan tepat di hari ulang
tahunnya yang ke-57. Selamat ulang tahun Ayah, untuk yang terakhir kalinya.
Melewati
training di bulan ramadhan. Saya ditawari untuk tinggal MLI selama training
agar tidak kejauhan bolak-balik Jakarta–Bogor setiap hari dan sekalian cari
kost di sekitar sini. Sehingga bulan depan bisa langsung kost.
Training
ini dibagi jadi tiga jenis. Training materi dan sistem khusus di MLI. Observasi
teaching process guru-guru senior.
Dan praktik mengajar onsite dan online yang disupervisi oleh guru senior. I got shock culture. Anak-anak level kindergaten dan primary saja sudah sepintar dan selancar itu bahasa Inggrisnya.
Juga kemampuan guru-gurunya yang sudah autopilot.
Namun saya tetap mencoba sebaik mungkin. Selalu belajar setiap malam dan selalu
berusaha well-prepare sampai
menyiapkan script untuk mengajar.
Meski beberapa kali tetap diledek oleh anak-anak yang bahkan usianya di bawah
enam tahun. Astaga!
Selain
itu, biaya makan di sini juga mahal-mahal. Niat tinggal di MLI biar lebih murah
ternyata salah. Struggle sekali untuk
beli makan sahur dan buka puasa di sini. Menghabiskan hampir seratus ribu untuk
sehari.
Akhirnya
saya berhemat dengan pinjam panci listrik. Dimulai dengan makan mie instan dan
telur. Lalu patungan dengan dua penjaga MLI untuk beli bahan makanan. Mbak Diva
dan Mbak Weni yang masak. Saya tinggal makan. Oh ya, jam kerja saya dimulai
09.30–18.00.
Mama
beberapa kali menanyakan gimana tinggal di sana, sahur dan buka pakai apa. Ayah
bahkan menelpon sambil mengetawai anaknya yang hemat pol makan pake mie setiap
hari, lalu menyarankan untuk pergi ke masjid kapuk supaya dapat buka dan sahur
gratis. Mbok ya tidak ada masjid di sini, masjid kapuk itu jauuuhh. Hahahaha
ada-ada saja.
Usai
training saya mampir dulu beberapa hari di Cibinong. Lalu ikut sibuk menyiapkan
kegiatan Peacesantren dengan jarak jauh. Sebenarnya malas, capek. Tapi sudah
terlanjur ikut kepanitiaan karena berpikir mengisi waktu menganggur Maret lalu.
Acara
peacesantren diadakan tanggal 23–24 April. Sehari sebelumnya saya pulang dulu
ke rumah. Saya selalu terngiang-ngiang kalimat ‘siapa yang bisa jamin kita bisa ketemu lagi di ramadhan berikutnya.’
Maka saya ingin mengusahakan untuk makan sahur, berbuka bersama, dan menikmati
suasana setiap ramadhan bersama keluarga lengkap di rumah. Sebelum semua makin
sibuk. Sebelum ada yang pergi.
Seminggu
terakhir ramadhan sampai libur lebaran saya habiskan di rumah.
Padahal
saya ingin sekali i’tikaf di Masjid BI bareng keluarga seperti dulu. Pasti
seru. Apalah daya. Keterbatasan uang membatasi banyak hal.
Namun
begitu, track roller coster sedang
datar kali ini jadi saya bisa bernafas lebih lega. Meski belum bisa bagi-bagi
THR banyak, setidaknya saya bisa lebih tenang dan gak sewotan di libur panjang
ini.
“Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan.” (QS.
Al-Insyirah: 5–6)
***
Selalu
ada tujuan atas kelahiran setiap manusia di muka bumi. Dan Allah tidak
menciptakan apapun dengan kesia-siaan.
Menjemput hadiah-hadiah.. di bulan
Mei.
Hadiah pertama,
saya menerima take over anak-anak
Miss Febri. Yang artinya saya sudah resmi memulai debut sebagai guru aktif di
MLI. Saya memegang anak-anak dari level beginner
sampai advance. Kalau sebelumnya saya
merasa kesulitan menangani anak-anak usia dini karena mereka susah mengerti. Sekarang
saya justru merasa ketakutan jika mengajari anak-anak primary dan high school level.
Alasannya justru karena mereka selalu lebih cepat mengerti daripada saya.
Hadiah
pertama ini saya terima dengan suka cita. Meski perjalanannya tak sesuka cita
itu. Saya memutuskan untuk PP Cibinong–PIK setiap hari. Bangun 03.40.
Menyiapkan bekal. Mandi dan siap-siap lainnya. Usai solat subuh, 04.50 saya
berangkat diantar Kak Sidiq naik motor menuju stasiun. Perjalananan kurang
lebih 20 menit. Menikmati dinginnya angin subuh Cibinong.
Jadwal
kereta 05.20. Transit di Manggarai. Lanjut lari-lari naik tangga berebut dan
berdesakan mengejar kereta arah Jakarta Kota. Terhimpit berdiri berdesakan
bersama pejuang rupiah lainnya. Tiba di Jakarta Kota. Terus berlari lagi melewati
JPO menuju Halte Kota. Menumpang Transjakarta ke arah PIK. Transjakarta dengan
rute Balaikota–PIK ini jarang tapi amat padat penumpang. Jadi agar cepat
kebagian harus berani, agresif, dan egois. Penumpang yang menuju arah sana
banyak, jadi mustahil mendapat tempat duduk. Boro-boro duduk, berdiri saja
gak kebagian. Saya sering nekat meneboros sampai diteriaki petugas karena sudah
overload tapi tetap memaksa masuk.
Pintu otomatis sulit tertutup dan penumpang di dalam oleng memaki-maki. Masa
bodoh, daripada harus lama lagi menunggu bus selanjutnya. Lalu tiba di Halte
Waterbom PIK. Saya jalan kaki sekitar 500 meter ke MLI.
Tiba
selalu paling pagi. Langsung prepare
materi dan bahan ajar. Memahami materi dan simulasi mandiri mengajar supaya
tidak diledek lagi.
Istirahat
satu jam, 12.00–13.00. Tapi mustahil utuh satu jam. Waktu belajar gak mungkin teng selesai pukul 12.00. Pasti lewat
1–5 menit, sudah termasuk beres-beres buku supercepat. Lalu solat dan makan
siang. Diskusi dengan guru lain sebentar, tanya ini dan itu untuk mengajar.
Pukul 12.50 harus sudah stay lanjut mengajar berikutnya. Paling bersih
istirahat itu hanya 40 menit. Salah satu hal yang saya kurang suka jadi guru.
Terlalu banyak preparation dan makan
waktu tapi mana pernah dihitung lembur. Kalau gak dihitung loyalitas, ya
dedikasi guru.
Di
sini tidak ada jeda Ashar. Guru yang muslim harus pintar-pintar ambil celah.
Entah di jamak saat zuhur. Atau izin ke siswa untuk ke toilet. Wudhu dan solat
ashar kilat dalam waktu lima menit. Karena siswa di sini semuanya non-muslim
dan orang tua mereka sangat strict
dengan waktu, meski hanya kurang satu menit langsung protes dan harus
diakumulasi di pertemuan selanjutnya. Maklum, mereka bayar mahal. Jadi saya
mengakali dengan memberikan challenge
yang bisa dikerjakan mandiri dalam waktu sekitar lima menit agar bisa solat.
Selesai
mengajar 18.00. Solat magrib. 18.10 saya jalan supercepat ke halte. Sampai
halte sekitar 18.25. Karena jadwal transjakarta tidak bisa diprediksi presisi,
kadang saya harus lari-lari karena melihat bus sudah ada dari kejauhan. Kadang pas banget
bergitu sampai halte, bus langsung datang. Kadang kalau lagi sial sudah
lari-lari, tapi bus penuh bejubel. Terus nunggu bus berikutnya, yang sialnya
juga penuh dan harus nunggu lagi. Bus ketiga harus buru-buru naik, karena sopir
paling hanya kasih dua sampai empat penumpang untuk naik. Sudah seperti
kumpulan ikan teri dalam kotak kecil. Capek, lemes, lapar, keinget harus
nyiapin materi besok, berdiri berdesakan pula di bus. Belum lagi macet. Tungkai
kaki makin lunglai. Telapak tangan makin merah.
Perjuangan
pulang belum selesai sampai sana. Normalnya, pukul 19.25 saya sudah sampai
Stasiun Jakarta Kota. Dan bisa lari cus naik kereta jadwal 19.27. Tapi kalau
lagi macet sampai stasiun bisa 19.50. Dan naik kereta jadwal 20.10. ini sih
mending setidaknya gak nunggu terlalu lama. Sering juga kalo sial, telat satu
atau dua menit di jadwal 19.27. Telat semenit saja bisa mempengaruhi durasi
tidur saya malam itu. Kerja di MLI
benar-benar harus strict dengan waktu
yang presisi. Hikmahnya jadi lebih menghargai waktu.
Sampai
di Stasiun Bojong Gede 21.15. Itu kalau normal. Gak normalnya bisa 21.55 atau
pernah lewat dari pukul sepuluh malam.
Cobaan
belum berhenti sampai disitu, Ferguso.
Jangan lupakan Bogor adalah kota hujan. Gak cuma sekali dua kali malam-malam
hujan lebat. Menerobos hujan lebat di malam hari menumpang motor yang dipacu
lumayan cepat agar tidak terlalu lama hujan-hujanan.
Dingin
dan menggigil? Jangan ditanya, itu baru sepersekian persen dari kejamnya dunia!
Let’s work hard, pray hard. Do the
best and let God do the rest!
Terima
kasih buat Kak Sidiq yang tetap bela-belain antar-jemput dengan kondisi cuaca
begitu. Padahal harusnya bisa santai ngeteh malam di rumah setelah capek kerja.
Sampai
di rumah. Bisa sepuluh kurang, sepuluh lewat dikit, atau setengah sebelas.
Langsung
mandi. Salat Isya. Dan makan malam.
Terima
kasih juga buat Dinda yang selalu siap sedia dengan hidangan makanannya. Ribet-ribet
ngurusin bekel dan nyuruh makan malam. Meski harus urus rumah dengan dua balita
dan satu newborn. Selamat ulang tahun ke
30, officially kepala tiga - anak tiga.
Oh
ya juga Khaira Khansa. Bener juga ya kata orang, setelah seharian kerja ketemu
anak di rumah itu jadi pelipur lara. Ya, walaupun ini ponakan, tapi ngerasanya
seneng juga begitu pulang langsung disambut, ditanya-tanya, diajak cerita
dengan tingkah ceriwis anak dua itu.
Seneng karena cuma ngobrol
ketawa-ketiwi doang, gak perlu ngurus dan bisa langsung istirahat. Coba kalo
anak sendiri, pulang kerja capek, malah ngurusin anak dan beres-beres rumah,
makan belum tersedia, cucian numpuk. Waduh bisa makin gila saya!
Salut buat wanita karir yang
terampil dan work–home balance. Angkat topi!
Sekitar
pukul sebelas tidur.
Tidur
sekitar empat jam setengah. And repeat.
Menjemput
hadiah kedua, wisuda dan foto studio
dengan keluarga.
Lulusnya
Oktober 2021, wisudanya 15 Mei 2022. Untungnya itu hari Minggu. Dan tanggal 16 libur Waisak. Jadi, tanggal 14 selesai mengajar
saya langsung menuju Cikande.
Saya
baru beli alat make up awal Mei lalu, yang super murah. Toga sudah diambil oleh
Ifa sebelumnya. Sempet heboh juga di rumah hahaha. Pada laporan Ifa dan Septi
disuruh pakai toganya oleh Ayah. Akhirnya sarjana juga!
Saya
ingin sekali mengajak keluarga untuk hadir menemani seremoni wisuda ini. Tapi
apalah daya. Lagi-lagi uang membatasi. Saya harus sewa mobil. Traktir keluarga
makan siang. Dan foto studio. Belum lagi karena masih corona orang tua tidak
boleh masuk ke area prosesi wisuda.
Itu
alasan mengapa saya datang ke wisuda sendirian. Bukan karena keluarga kurang
peduli. Mama excited dan berkali-kali
nanya bisa datang atau enggak. Ayah kalau diajak pasti mau aja.
Maafkanlah
anakmu yang miskin dan harus terus-menerus berhemat ini ya. Sewa mobil dan makan
siang di rumah makan pascawisuda saja gak mampu. Memang gak berguna!
Sebenarnya
cukup sedih dan iri saat wisuda tanpa ada satupun yang datang. Bukan cuma keluarga,
tapi juga teman-teman. Seperti tidak ada tujuan. Teman jurusan yang wisuda di
kloter itu hanya belasan, itu pun mereka asyik dengan keluarga, pasangan, atau tamunya masing-masing. Saya hanya foto dengan beberapa teman. Malah saya
dimintai tolong memotret rombongan wisudawan lain. Kadang suka kasian sama diri
sendiri. Se-sendiri dan se-kesepian itu.
Tapi
setelah itu, untungnya Ifa dan Naga datang. Sedikit memperbaiki suasana hati.
Mereka bawa dua buket. Foto-foto sebentar, solat, lalu mereka pergi karena ada
urusan lain. Buketnya saya suruh bawa lagi. Ribet kan naik angkot bawa-bawa
buket, pakai kebaya pula.
Saya
pulang jalan kaki ke depan gerbang sendirian lalu naik angkot. Sebenarnya kalau
hari biasa sih gak masalah. Tapi karena ini momen wisuda, agak lain aja pulang
sendirian naik angkot. Setidaknya bareng-bareng lah dengan wisudawan lain. Tapi
sepertinya tidak ada juga wisudawan yang senasib dengan saya hari itu.
Saat
perjalanan pulang, hujan turun menderas. Di momen seperti itu entah mengapa
segala hal menyedihkan mendadak jadi ikut-ikutan menyeruak, timbul diingatan. Rese.
Menambah suasana sendu saja.
Esoknya
16 Mei. Beruntung tanggal merah. Saya mengajak keluarga foto studio bersama.
Setidaknya obat atas ketidakmampuan saya mengajak mereka ke prosesi wisuda
kemarin. Ayah belagak sok-sok gak mau diajak. Padahal saya yakin Ayah hanya
gengsi dan ingin dibujuk-bujuk. Yang lain sudah kesal dan mau pergi foto tanpa
Ayah. Eits, tidak bisa. Ini foto keluarga. Semuanya harus ikut. Setelah dipaksa
dan dilobi beli bensin, nasi padang, dan siomay. Kami berangkat bersama ke
studio.
Cukup
langka kami foto bersama. Mengabadikan momen. Yang siapa sangka ternyata jadi
momen terakhir bersama salah satunya.
Terima kasih atas hadiah-Mu yang
kedua ini.
Last but not least... Hadiah ketiga.
Tanggal
21, Dinda dapat informasi tempat kerjanya dulu sedang buka lowongan untuk
administrator gudang. Bisa langsung kirim berkas kalau minat.
Sebenarnya
saya sudah cukup matang dan pasrah menjadi guru di MLI saja. Saya sudah serius
cari kost karena tidak kuat PP dan tidak enak dengan keluarga Dinda.
Semenjak
di MLI saya sudah tidak merespons beberapa panggilan kerja. Namun, terbayang
beberapa hal dan menimbang-nimbang, saya memutuskan untuk mengirim berkas
lamaran.
Tanggal
23. Hari Senin, saat mengajar online
saya dapat telepon. Panggilan interview
dari KLA di hari Rabu, 25 Mei. Kebetulan juga 26 Mei tanggal merah.
Selasa
24 Mei setelah mengajar saya langsung pulang ke Cikande. Sampai rumah malam
sekitar pukul sebelas. Supaya besoknya bisa langsung ke KLA.
Saya
izin sakit tidak bisa masuk hari rabu di MLI. Sebenarnya tidak bohong juga sih,
saya memang gak enak badan, pening, dan badan ngilu-ngilu. Karena dipaksa saja
maka terlihat sehat.
Singkatnya,
saya tes tulis dan wawancara bersama pelamar lain. Tes tulisnya hanya
matematika dasar. Wawancara dengan pertanyaan biasanya.
Dan
taraa.. sore sekitar pukul tiga saya ditelpon oleh HRD. Saya diminta mulai
kerja per 2 Juni. Tapi setelah menawar, diperbolehkan mulai masuk tanggal 6
Juni.
Saya
kembali lanjut mengajar di MLI esoknya. Dibekali makan siang oleh Mama. Anyway, selamat ulang tahun ke-52, Maa.
Saya berangkat subuh diantar Ayah sampai Jayanti lalu naik angkot. Setelah
mengajar saya pulang kembali ke Cibinong. Begitu terus sampai menerima gaji di
tanggal 31 Mei.
Usai
sudah perjuangan menerjang angin, hujan, badai, genangan, dan berdesakan dengan
rimbunan manusia di moda transportasi masal Jakarta.
Perjalanan
saya di MLI usai per tanggal 31 Mei 2022. Tentu dengan akhir yang sangat tidak
baik. Karena mendadak resign, mengabari di hari H, tidak mencerminkan tanggung
jawab dan profesionalitas. Saya disemprot habis-habisan lewat pesan WhatsApp.
Ini kali pertama saya terkena makian serius yang cukup kasar dalam dunia kerja.
Dan saya juga merasa bersalah karena tidak bisa memegang komitmen sendiri.
Tunggu,
karena makian ini adalah hal baru apa perlu dimasukan sebagai hadiah keempat?
Hahahaha.
Namun
begitu, Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta Alam.
“Dan
terhadap nikmat Rabbmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”
(QS. Adh-Dhuha: 11)
Terima
kasih atas hadiah-hadiah bulan Mei tahun ini. Juga satu tambahan hadiah kecil
tentang pemahaman mencintai.
Seringkali orang bertanya, ‘Bagaimana
seharusnya mencintai?’
Pemahaman yang baru saya temukan, cinta
sama halnya dengan belajar. Ketika seseorang mengambil keputusan untuk
mencintai, maka ia sudah siap masuk dalam proses pembelajaran dengan segala
konsekuensinya.
Proses yang awalnya dipenuhi
semangat dan ambisi. Bertemu dengan beberapa kesulitan memahami, lalu terpecahkan.
Mulai jenuh dengan berbagai persoalan dan tugas yang tak kenal henti, lantas
berdamai dengan mengerjakannya perlahan. Dihadapkan pada ujian-ujian yang
kadang datang tak terduga. Namun juga memacu adrenalin untuk dapat
menaklukannya dengan baik.
Setelah itu, sejenak bergembira,
membuat selebrasi untuk merayakan keberhasilan dari lika-liku perjalanan di
level satu.
Untuk kemudian, kembali lagi pada
siklus sebelumnya dengan level yang meningkat. Dan terus berputar begitu
siklusnya. Tanpa akhir. Toh manusia memang perlu belajar sepanjang hidupnya.
Pun halnya dengan mencintai.
Mencintai adalah proses belajar
sepanjang hayat. Mencintai Tuhan. Mencintai diri sendiri. Mencintai keluarga
tempat kita dilahirkan. Mencintai pasangan. Mencintai teman-teman, orang
sekitar, dan lingkungan.
Sebuah proses melelahkan penuh
tantangan, tapi juga menyenangkan dan penuh kejutan.
Sama seperti belajar, orang selalu
berlomba-lomba untuk mendapat nilai terbaik dan berprestasi bukan? Maka dalam
mencintai, orang juga perlu berprestasi. Giat dan sungguh-sungguh.
Ah
jadi terpikir, kira-kira bagaimana rasanya mencintai dan dicintai dengan giat
dan sungguh-sungguh?
***
Back to home sweet home.
Expected the unexpected. Feeling
(the darkest) blue in.. Juni.
Pada
akhirnya semua akan pulang. Aku menyebutnya bulan kepulangan. Kepulanganku
ke rumah dan kepulangan yang lainnya. Yang entah bagaimana terasa begitu rapi
dan terencana.
Saat
sudah menyerah dan ingin menikmati arus, takdir dengan mudahnya menepikan saya
ke daratan. Daratan yang bahkan sering saya injak-injak sebelumnya. Menjadi buruh. Benar-benar penghadiran
nikmat syukur yang unik.
Keputusan
final untuk kembali ke Cikande dan bekerja di KLA. Saya kembali Jumat, 3 Juni.
Hari
Sabtu saya memutuskan belanja bulanan untuk keperluan di rumah. Saat berbelanja
saya mengambil satu renteng kopi instan untuk Ayah. Kasian setiap kali minta
kopi selalu dicuekin. Dan benar, Ayah senang dibelikan kopi.
Sorenya
saya berkumpul dengan teman-teman Bimba. Selalu seru bercerita panjang lebar
dengan mereka. Menertawai akhir cerita saya yang UUBJ. Ujung-ujungnya Buruh Juga.
Tapi
ya sudahlah, tidak buruk juga. Akhirnya saya bisa merasakan libur dua hari di
akhir pekan. Pekerjaannya sangat santai. Rekan-rekannya baik dan mau membantu. Sholat
bisa leluasa. Bisa disambi dengan kegiatan lain saat pekerjaan lowong. Tempat
kerja dekat dengan rumah.
Terlepas
dari status buruhnya, sebenarnya ini sudah jauh dari cukup. Gajinya memang
standar, tapi mau minta sebesar apa lagi.. Malah sepertinya gajinya terlalu
kelebihan untuk porsi kerja seperti ini. Saya malah bingung, kalau kali ini mau
mengeluh dan tidak bersyukur, harus apalagi ya alasannya?
Bekerja
di sini lumayan juga. Lumayan bingung karena harus cari jobdesc sendiri. Lumayan mengantuk karena bingung hendak
mengerjakan apa lagi. Bagi orang-orang awam mungkin enak. Tapi kalau sejak awal
bekerja kita gak punya porsi penting dalam pekerjaan dan tidak memiliki daya
guna untuk perusahaan, buat apa dipekerjakan? Lalu, saya juga takut kalau
tiba-tiba diputus kontrak karena posisi saya ternyata tidak terlalu memiliki
daya guna.
Maka
saya beberapa kali bertanya jobdesc saya
apa selain menginput data pengiriman galvanize. Seminggu ke depan saya
mengerjakan jobdesc utama sambil
mencari-cari hal lain yang bisa saya kerjakan.
Beberapa
kali sepulang kerja Ayah menanyai proyek apa saja yang sedang dikerjakan di
pabrik. Karena saya masih baru dan belum terlalu mengerti, saya jawab tidak
tahu.
Ayah
juga menanyai besaran gaji yang kuterima di sini. Anehnya, Ayah tidak marah
atau mempertanyakan kenapa saya malah memilih bekerja di pabrik. Malah Ayah
sempat bilang, “Susah-susah nyari kerja,
dari dulu aja.”
Padahal
saya sempat khawatir Ayah tidak setuju. Saya bahkan sudah mempersiapkan argumen
untuk meluapkan betapa saya sangat bingung, lelah, dan kesal dengan fase
pencarian kerja yang rumit ini. Tapi tidak terjadi.
Saya
melewati akhir pekan bersantai di rumah. Kembali melihat Ayah di rumah. Namun
tidak ada obrolan apapun, padahal deep
talk dengannya selalu menarik. Namun, kami sekeluarga terlalu segan.
Sampai
tiba waktunya..
Selasa.
14 Juni. Ifa memberi tahu lewat pesan grup WhatsApp, Ayah bergejala sakit
seperti setahun lalu. Limbung dan terjatuh saat jalan dan pakai sarung/celana.
Namun tetap berangkat jalan kaki ke masjid setiap waktu solat. Dari video yang
dikirim, saya berfirasat sesi perjalanan rollercoaster yang datar dan
tenang akan segera berakhir.
Sorenya
sepulang kerja, saya membelikan gorengan seperti biasa untuk di rumah. Ayah
memakai setelan solatnya, duduk di sajadah menunggu waktu solat. Kalau Ayah
sudah solat di rumah, pertanda kalau kondisinya memang sudah tidak baik. Usai
solat Ayah mengambil gorengan yang saya beli. Hanya satu atau dua kalau saya
tidak salah ingat. Makan dan minumnya sudah tersedak-sedak.
Lucu
dan miris sekali saat melihat Ayah mengunyah gorengan. Hanya sebatas itu yang mampu saya berikan dikondisinya yang seperti
ini.
Saya
khawatir tapi tidak ingin sedih. Saya justru merasa bosan dengan skenario-Nya.
Entah mengapa saya menantang, apa lagi
yang akan terjadi kali ini?
Hari
itu Ayah sakit lagi seperti tahun lalu. Hampir persis satu tahun dan selalu
menjelang Iduladha. Apa mungkin kami
diberi kesempatan satu tahun setelah tahun kemarin?
Komentar
Posting Komentar