REKAM JEJAK 2021
:catatan kisah untuk dikenang masa mendatang
Januari
Foto kunjungan Januari lalu bersama mereka hilang, jadi pakai ini saja.
Sama seperti sebelum-sebelumnya,
awal tahun selalu menjadi puncak harapan dengan deretan target yang hendak saya
capai. Keberhasilan dan kebahagiaan sudah tentu menyelimuti angan. Namun bukan
hidup namanya jika tidak bertemu hal diluar duga.
Virus corona yang jadi trending di
media massa, secara langsung dan eksklusif menghampiri saya. Sebuah kejutan. Sayangnya,
saya tidak menyadari itu sejak awal. Saya malah berkunjung ke rumah kakak untuk
berlibur beberapa hari. Di hari ketika saya pulang, ponakan saya mendadak
terlihat kurang sehat. Sebenarnya saya sudah firasat, karena kondisi saya pun
belum membaik juga, tapi buru-buru saya usir pikiran itu. Beberapa hari setelah
kepulangan saya, saya dapat kabar mereka dinyatakan positif covid setelah
melakukan tes, padahal tidak berpergian ke mana pun. Ya, sudah pasti karena
saya. Covid saat itu bukan berat di sakitnya, tapi perasaan takut dan tidak
enak jika menularkan, rasanya seperti melakukan sebuah dosa besar. Mereka
isolasi mandiri di rumah, kakak ipar saya ‘memperpanjang jatah liburnya’.
Bagaimana dengan saya? Saya tetap bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Kalau
orang tahu saat itu, pasti saya akan dicap manusia jahat dan egois. Tapi siapa
peduli? Saya selalu punya alasan kuat melakukan apa yang saya pilih. Lagipula
saya tetap melakukan prokes superketat di mana pun. Dengan cara itu, saya cukup
percaya diri tidak menularkannya ke siapapun. Tidak percaya? Tidak masalah buat
saya.
Time
heals everything. Pelan-pelan kondisi saya pulih, hanya tertinggal anosmia
jangka panjang. Tapi tidak begitu masalah. Keluarga kakak saya pun sama.
Setelah kurang lebih tiga minggu, kakak ipar saya bisa kembali bekerja.
Di luar itu, hari-hari saya berjalan
sama seperti biasa. Tidak atau belum ada target-target yang tercapai. Meski
seharusnya, kesembuhan ini bisa saja jadi salah satu ‘pencapaian’, tapi saya
yang jumawa menuntutnya menjadi suatu keharusan yang tidak istimewa.
Februari
Minggu pertama yang berjalan normal
membuat saya justru mulai gelisah. Pasalnya, saya sudah berada di semester
delapan perkuliahan tapi belum muncul pertanda serius dari jurusan untuk bisa
mulai menggarap skripsi. Dosen pembimbing saja belum diinformasikan, bagaimana
hendak mengajukan topik garapan? Keluh kesah gibah sudah tumpah ke mana-mana.
Keleletan kinerja dan sistem birokrasi jurusan saya ini menyebalkan sekali.
Teman-teman dari jurusan lain bahkan ada yang sudah seminar proposal sejak
November/Desember lalu. Jurusan ini? Mangkrak! Tapi ingin akreditasinya A,
kualitas terbaik, terpandang, mahasiswanya lulus cepat, berprestasi, dan harapan-harapan
positif lainnya. Kalau ada yang bilang, kan
kamu bisa mu start cari-cari topik dan mengumpulkan judul dulu?
Jawabannya PERCUMA. Malas saya menjelaskannya. Lagipula saya sudah mengantongi
opsi-opsi judul, yang saya perlu adalah konsultasi. Wah saya berharap besar
sekali bisa mendapat dosen pembimbing yang bisa benar-benar membimbing. Karena
di kepala saya yang naif ini, dosen pembimbing adalah dosen yang bersedia untuk
sungguh-sungguh mengarahkan dan menerima konsultasi juga berdiskusi menemukan
solusi. Tapi itu hanya khayalan saya. Dosen pembimbing tak lebih dari sekedar
formalitas belaka yang fungsinya hanya untuk dicantumkan namanya saja. Akhirnya,
saya mendapat daftar dosen pembimbing di akhir Februari beserta ajuan judul
skripsi yang diterima jurusan. Ya sudah, terpaksa harus saya syukuri juga.
Maret
Berlanjut. Saya melakukan bimbingan
yang ‘alot’ satu-dua kali dengan dosen pembimbing. Bimbingannya beramai-ramai,
tidak bahas hal yang spesifik per satu mahasiswa. Tapi tidak apa, saya juga
tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti alurnya. Seperti teman-teman yang
lain, saya pun sudah mulai menulis draft proposal Bab 1–3. Yang isi draftnya
hanya salin-tempel saja sih sebenarnya, eh tidak juga deh ada mikir originalnya lah
sedikit. Sebagai hadiah telah menyelesaikan draft proposal, saya membeli ponsel
baru, yang sudah direncanakan sejak tahun lalu. Agak sedih juga melepas ponsel
lama yang menemani empat tahun perjalanan hidup. Untuk komunikasi, informasi,
pendidikan, hiburan, catatan harian, bermacam-macam kegiatan mengandalkan satu
alat itu. Saatnya saya untuk pergi ya, Advan. Terima kasih sudah setia
mendampingi.
Saya juga mengikuti tes TOEFL
sebagai persyaratan seminar proposal dan sidang skripsi. Meski telat masuk
ruangan, tertinggal sesi listening beberapa
soal, mengisinya dengan tebakan bismillah, syukurlah hoki saya masih bagus.
Nilai TOEFL saya cukup oke, padahal sempat pasrah untuk ikut tes TOEFL kedua,
ketiga, dan selanjutnya. Tapi sekali saja cukup.
Bimbingan dan revisi proposal terus
berlanjut dengan segala dramatisasi, puitisasi, sebalisasi, dan segala hal yang
menguras money dan emosi. Untung saja
saya ikut beberapa organisasi dan kegiatan ini-itu untuk lebih memperkaya sebal-isasi
diri. HAHAHAH.
Maret ini juga diisi dengan satu-dua
dilematis. Tawaran hati dari ini dan itu, membuat saya harus sedemikian mungkin
hati-hati, yang bisa dipastikan berujung tidak jadi. Astaga, selalu begitu.
Tapi Alhamdulillah.
April
Saya
mulai muak dengan ritme bimbingan yang lamban ini. Dikerjakan bingung, gak
dikerjakan resah. Belum selesai takut, sudah selesai dosen pembimbing tidak ada
kabar. Serba salah. Sudah dasarnya malas, keadaan malah lebih mendukung untuk
malas.
Akhirnya rasa malas itu hengkang ketika sudah dibuka pendaftaran
seminar proposal. Saya ngebut merevisi dengan sungguh-sungguh, sambil tetap
terus-menerus tiada henti menghubungi dosen pembimbing meski pesan saya hanya
dibaca berkali-kali. Semakin hanya dibaca saja, semakin saya semangat. Saking ‘semangatnya’
hanya dibaca, saya sempat kepikiran untuk menceritakan imajinasi saya, seandainya saya bisa masuk ke dalam cermin
lalu muncul di cermin orang lain dan muncul di cermin dosen. Jadi kalau
pesan saya hanya dibaca, saya bisa langsung muncul di cermin kamar beliau lalu
bertanya, “Halo kenapa pesan saya tidak
dibalas? Kapan kita bisa bimbingan?” Lumayan kan imajinasi saya bisa dibaca
dosen pembimbing, siapa tahu saya bisa dirujuk mengikuti kelas penulis hebat.
Akhirnya, penantian saya berujung
tidak indah. Pendaftaran seminar proposal sudah ditutup. Hanya beberapa saja
yang bisa daftar, kalau tidak salah ada sembilan orang. Crazy! Hanya sembilan orang di satu angkatan yang bisa seminar
proposal. Padahal sudah bulan April. Kesal dan iri melihat sembilan orang itu
bisa seminar proposal duluan, saya buat janji pada diri sendiri tidak akan
unggah status apapun di WhatsApp, Facebook, atau Instagram sampai saya
mendapati persetujuan (acc) proposal
skripsi dari dua pembimbing.
Emosi saya benar-benar tidak stabil
saat itu. Di tempat mengajar, saya selalu menghindari anak-anak, takut emosi
saya yang tidak stabil berdampak pada mereka. Saya mendadak mengundurkan diri
dari Masyarakat Ekonomi Syariah Banten, karena tidak suka dengan cara tertawa
seseorang ketika saya bicara. Astaga, orang itu tidak salah apa-apa juga.
Memang saya yang sedang tidak stabil emosinya. Lalu, saya juga kesal dengan
teman-teman PeaceGen yang janji mau datang tapi di hari H tiba-tiba tidak jadi.
Saya sudah siapkan ini-itu, bahkan sampe ngide
booking photo studio segala. Bukan salah mereka sih sebenarnya. Saya waktu itu
terlalu excited ingin menyambut,
ingin cerita. Saya saja yang terlalu berharap banyak, jadilah kecewa. Dari
situ, saya juga mulai pelan-pelan menjauh. Takut berharap terlalu banyak.
Karena organisasi ini tidak terlalu resmi, saya merasa tidak perlu mengundurkan
diri dengan surat formal seperti di MES. Cukup tinggalkan pelan-pelan. Saya
tidak pernah suka terlalu berharap atau bergantung pada siapapun dan apapun,
PeaceGen berpotensi besar membuat saya jadi pribadi yang ketergantungan untuk
didengar. Saya juga melepas keanggotaan dari Forum Silaturahmi Remaja Banten, selain sudah tidak betah saya juga sudah bukan remaja lagi.
Setelah mengambing-hitamkan banyak
hal, tanggal 20 saya mendapat acc dosen
pertama. Lalu tanggal 21 saya mendapat acc
dosen kedua. Tentu dua hari itu melewati proses yang cukup dramatis. Saya malas
ceritanya, karena sepertinya tidak akan saya lupakan juga. Alhamdulillah,
tinggal menunggu dibuka lagi pendaftaran seminar proposal.
Mei
Sempro di biMBA, masih sempat sambil melayani orang tua murid dan tampil cantik seperti biasa. Saya jarang ada yang memuji, bingung juga kalau dipuji, jadi terbiasa memuji diri sendiri.
Masih dalam suasana Ramadan. Saya sudah
mendaftar seminar proposal. Jadwal saya seminar proposal tanggal 5 pukul 10
pagi. Saya tidak memberitahu siapa-siapa seperti orang lain yang sibuk
bilang-bilang. Malu saya, takut gagal. Alhamdulillah seminar proposalnya
berjalan dengan terlalu mudah HAHAHA. Sombong? Barangkali iya, tapi memang
mudah betulan, atau mungkin memang perkiraan saya saja yang terlalu sulit. Nah
itulah sisi baiknya selalu negative
thinking/overthinking/think the worst of everything. Kalau kejadian betulan
jadi gak kaget, kalau gak kejadian ya Alhamdulillah. Sangat bijak bukan?
Meski sudah seminar proposal dan
mengambil data penelitian, emosi saya masih tidak stabil. Bahkan di Hari Raya
pun saya tidak punya semangat sama sekali. Tidak mengucapkan apa-apa, takut
bertemu dan basa-basi dengan orang-orang, tidak ikut keluarga untuk
berkeliling, pulang Salat Ied saya langsung mengurung diri di rumah. Sampai
liburan usai dan sudah mulai beraktivitas seperti biasa, emosi saya tetap
seperti itu. Mungkin karena beban-beban pikiran yang ditanggung sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan orang yang membebani. Situasi kondisi yang juga sama
beratnya. Tuntutan ini-itu. Hah! Beban kedewasaan yang menyesakkan!
Juni
Saya
sudah merampungkan skripsi. Saya menunggu bimbingan sejak selesai liburan Hari
Raya, sampai sekarang sudah rampung pun pembimbing masih juga belum berkabar.
Astaga mempersulit sekali. Mana pendaftaran sidang terakhir tanggal 25. Dan
akhirnya seperti yang sudah diperkirakan, saya melewatkan kesempatan sidang
semester ini. Mahasiswa di angkatan saya yang berhasil sidang pun hanya 10 orang. Ini kloter
sidang pertama sekaligus terakhir semester ini. Jurusan ini benar-benar crazy! Beasiswa bidikmisi saya sudah
selesai semester delapan ini. Saya harus bayar UKT sendiri untuk semester
depan. Terima kasih, Pendidikan Bahasa Inggris.
Puncak rasa terima kasih itu ada di
tanggal 28. Hari itu kalau ada yang tanya,
gimana kabarnya hari ini? Jawabannya, BURUK.
Tapi siapa peduli kan? Satu pun makhluk juga tidak ada yang mau tahu. Hari itu,
di luar kebiasaan, saya dapat haid pertama yang sakit sekali, badan rasanya
hancur lengkap dengan gejolak hormon yang semakin memperburuk emosi. Belum
cukup itu, gigi bungsu juga ikut bermasalah. Gusi jadi bengkak, makan tidak
nyaman, badan panas. Serta kabar teman-teman yang sudah selesai sidang, lengkap
dengan foto dan ucapan-ucapan ala-ala itu, mengingatkan saya harus bayar UKT
semester depan.
Harus bagaimana? Gigi bungsu yang bermasalah ini butuh 1,5jt. UKT 1jt. Belum keperluan di rumah. Belum keperluan skripsi dan hal-hal lain. Sementara gaji minim. Saya jadi sensitif sekali, bahkan hanya mendengar suara percakapan telepon teman dan orang tuanya yang nanya, “Teteh gimana skripsinya? Butuh apa, mau ditransfer lagi gak?” membuat perasaan saya mendidih dan ingin cepat-cepat pulang. Harus bagaimana? Ya, jalani saja. Butuh cerita? Belum cerita saja sudah capek duluan. Keputusan terbaik saat itu ya pendam saja, semoga Allah beri kekuatan.
Juli
Diberlakukannya PPKM sebenarnya
tidak terlalu berdampak pada hidup saya. Karena saya tetap bisa beraktivitas
tanpa batasan. Saya tetap membuka tempat belajar, awalnya daring. Tapi seminggu
kemudian saya beranikan diri untuk belajar tatap muka kembali.
Yang berat bulan ini adalah covid
tak hanya kembali menghampiri saya, tapi menyerang keluarga saya. Semuanya
bermula dari kondisi Ayah dan adik terkecil saya yang mulai bergejala. Kami
semua tidak terlalu menghiraukan, menganggapnya flu biasa. Mereka yang sakit
juga hanya minum obat warung untuk meredakan gejala. Seminggu lebih berlalu,
kondisi mereka semakin parah, terutama Ayah. Kami mulai curiga kalau-kalau Ayah
dan Qolbi terinfeksi. Beberapa hari berlalu lagi, Mama semakin panik dan
kepikiran, kemudian kondisinya juga ikut drop. Septi dan Ifa juga mulai
bergejala sedikit. Terus begitu. Lucunya ketika kondisi seperti itu, kami masih
harus bolak-balik mengangkut air ke rumah penyalur. Mengakut drigen-drigen dari
sana ke rumah kami, lantas mengangkatnya ke gentong dan bak kamar mandi. Ayah
yang sudah terlihat lemas masih berusaha mengangkut drigen air 25 liter. Karena tidak terpaksa saya yang mengangkut dibantu adik-adik. Orang lain? Tidak ada sama sekali bahkan untuk sekedar
basa-basi menawarkan bantuan, yang terlontar hanya, “Makanya pakai mesin (pompa air).” Padahal mereka yang pakai mesin
pompa air itulah biang penyebab kenapa air tidak pernah masuk ke rumah kami. Seperti
pemikiran yang selalu saya terapkan, siapa
peduli? Jangan pernah berharap sedikit pun pada kepedulian orang lain.
Semakin parah. Semakin terlihat kuyu
dan lemas. Senin dini hari kami sahur untuk puasa sunah. Porsi makan Ayah semakin sedikit dan usai makan langsung dimuntahkan lagi. Singkatnya kami berbuka dan salat magrib
berjama’ah di rumah bersama Ayah, karena beliau tidak sanggup lagi berjalan ke
musala dekat rumah. Ketika bangkit di rakaat ketiga, kaki Ayah kejang-kejang
beberapa saat. Itu awal mula dari kondisinya yang semakin memburuk. Juga kondisi
kami. Berhari-hari Ayah tidak bisa menerima makanan sama sekali. Tidak bisa
jalan, tapi selalu mengupayakan untuk selalu salat lima waktu. Berhari-hari
begitu, sampai kesadarannya juga diserang, kesadarannya mulai hilang. Kami
tidak bisa membawanya ke rumah sakit, karena beliau tidak pernah mau. Melihat
situasi rumah sakit saat ini juga tidak memungkinkan, karena saya takut
kehilangan momen jika ini adalah saat-saat terakhir. Membawanya ke rumah sakit
berarti kami kehilangan akses untuk merawatnya. Mama yang panik, membuat kondisinya drop. Begitu juga
dengan orang-orang di rumah. Saya tidak bisa menceritakannya detail. Saya juga
percaya ini akan jadi salah satu kisah yang tak terlupakan dalam hidup saya. Saya
akui, ini adalah salah satu pelajaran, cobaan, perjalanan yang cukup berat
sekaligus kesempatan terindah bagi saya. Saya bisa lebih ekspresif dan apa
adanya menunjukan kasih sayang kepada keluarga. Saya jadi berani menangis,
berani berbicara lemah-lembut, berani menunjukan perhatian lewat kata-kata dan
pertanyaan secara langsung. Yang selama ini rasanya seperti mustahil jika saya
lakukan. Saya jadi bisa mengamati lebih jelas perubahan fisik orang tua saya. Yang
rambutnya memutih, kulit tubuhnya yang mengeriput penuh noda-noda hitam, badannya
yang ringkih, matanya cekung dan sayu. Ayah dan Mama yang kian menua bersama
usia. Menjadi sebab kehadiran dan menemani dua puluh dua tahun hidup saya. Tentu
dengan segala ketidaksempurnaan mereka. Mereka yang boleh jadi selalu merasa
bersalah karena kealpaannya mengurus dan mendidik saya. Mereka yang saling
bertengkar karena sesuatu terjadi pada saya. Mereka yang tidak bisa tidur.
Mereka yang berkorban waktu, jiwa, dan raganya. Bahkan mereka yang tetap
mendoakan saya, setelah saya berteriak marah-marah atau bersikap tak acuh dan
menyakiti hati mereka.
Saya pernah beberapa kali mengalami
kehilangan anggota keluarga besar. Tapi tak pernah perasaan sedih sampai
merayapi hati. Saya belum pernah merasakan bagaimana benar-benar
kehilangan. Saat itu, saya baru mengerti dan merasakannya. Membayangkan
kehilangan sosok yang selalu hadir dalam dua puluh dua tahun hidup saya. Sosok
yang selalu rajin marah-marah, teriak membentak, memukul, berdebat, tapi tetap mau
mengantar-jemput, mengurusi ini-itu, menyuruh makan, mencucikan baju, piring,
memasak, selalu repot dan panik pada hal-hal sepele. Bagaimana rasanya
kehilangan dua sosok yang senantiasa hadir dalam hidup saya? Sesedih dan
sesakit apa? Saya hanya bisa menebak-nebak ketika melewati kesempatan ini. Saat
itu bahkan saya tidak peduli berapa lagi sisa uang yang saya miliki. Apa yang
saya miliki akan saya beri, apa yang saya bisa lakukan akan saya lakukan. Lupakan
semua rencana-rencana atau apa yang akan terjadi di hari esok. Bahkan keinginan
saya untuk berqurban saat itu harus pupus dan dialokasikan untuk keperluan lain
yang mendesak. Saya sempat bimbang, karena uang itu saya tabung dengan niat
untuk berqurban tahun ini. Masih tersisa pemikiran dangkal saya menyalahkan
Allah yang ‘menggagalkan rencana baik’ itu. Pemikiran itu terus bersemayam di
pikiran. Bodohnya, saya butuh waktu lama untuk sadar dan berkat perkataan
seorang teman yang bilang, “harusnya
bersyukur dong, kalo lo gak planning qurban pasti dana itu gak bakal ada kan?”
saya jadi sadar mengapa saya terilhami untuk mengumpulkan uang tahun lalu.
Justru ini adalah timing yang sangat
tepat untuk meresapi apa makna berqurban sesungguhnya. Boleh jadi, maknanya
akan lebih hebat dari sekedar berqurban seekor kambing.
Meski
terseok-seok dan tersengal-sengal melewati jembatan rintangan bulan Juli. Saya
tetap melewatinya dengan baik. Time heals
everything. Fainna ma’al ‘usri yusro. Itu benar sekali. Saya tidak isolasi
mandiri. Saya tetap bekerja dengan seluruh kebimbangan dan tangis. Belum ada
bantuan apa pun saat itu. Sampai akhirnya saya berbicara dan bantuan-bantuan
kecil pun datang. Ya, bantuan sekantong plastik jeruk dan tatapan rasa takut
warga sekitar. Tidak masalah, tatapan rasa takut itu justru membuat saya
semakin semangat dan berani sering-sering keluar rumah. Tertular karena saya?
Siapa peduli?
Agustus
Pelan-pelan
semuanya membaik, meski ada beberapa hal yang tidak kembali seperti sedia kala.
Dan membuat saya cukup terpuruk, tapi selama hanya saya, ya sudahlah diterima
saja. Lagipula siapa peduli? Terpuruk atau tidak urusan saya.
Kondisi ayah membaik, meski tidak
sehat seperti sediakala. Mama juga segar, kondisinya drop dominan karena pikiran.
Semuanya Alhamdulillah pelan-pelan terkendali. Saya tetap bekerja, tetap
menghubungi pembimbing skripsi, tetap menunaikan kewajiban organisasi yang
belum saya tinggalkan. Kami juga tidak perlu lagi angkut-angkut air ke
penyalur, karena sudah ganti saluran air, meski merogoh kocek cukup dalam. Juga Masalah dua motor kami yang rusak, tak kalah besarnya juga jumlah uang yang dikeluarkan. Masalah
duniawi ini, selalu beres dengan uang. Anehnya, saya dan kami yang terbatas bisa loh melampaui itu. Mungkin kemampuan kami sangat terbatas, tapi kuasa Allah selalu tanpa batas. Alhamdulillah.
Agustus memberikan kesempatan ‘bernafas’
lebih leluasa, menghirup dan mengembuskannya dengan lega. Alhamdulillah.
Akhir Agustus ini juga saya mendapat
acc untuk melaju sidang dari dua
dosen pembimbing. Ya, meski harus diakui ini menyebalkan juga. Saya pikir draft
skripsi yang rampung sejak Juni lalu itu akan mengalami perombakan
besar-besaran dari dua dosen pembimbing. Saya sudah sangat siap untuk itu,
karena kepalang tanggung sudah bayar UKT semester ini, sekalian saja hasilkan
tulisan skripsi yang bagus. Tapi nyatanya? Tidak ada revisi-revisi, langsung
tanda tangan. Geram sekali bukan? Lantas buat apa saya menunggu sampai bulan
Agustus dan bayar UKT semester tambahan ini jika hanya untuk mengejar tanda
tangan. Tapi ya sudah, terpaksa saya syukuri saja. Dosen pertama saya juga diakhir
jadi kelihatan baik dan perhatian.
September
Masalah
skripsi jadi lebih santai bulan ini. Tinggal mengurus berkas-berkas pendaftaran
sidang saja. Akhirnya saya bisa beralih fokus pada Ikadubas dan terlibat kepanitiaan
bimtek yang direncanakan digelar di Cilegon. Persiapan pra-kegiatan yang ribet-ribet
seru. Jadi lebih kenal dubas-dubas baru yang asyik. Yang gak kalah asyik juga dapat kesempatan cari-cari dan hubungi pemateri. Pengalaman pertama banget menyeleksi pemateri
buat acara resmi begini. Biasanya kan sudah dipilih oleh orang kantor, paling
kita cuma hubungi atau jadi LO saja. Tapi kali ini seru dan jadi lebih paham.
Nasib menangkap dan melempar saya kembali ke tempat ini |
Pertengahan September, eksekusi
acara. Seru banget. Saya juga bertemu teman lama dan dua teman dari PeaceGen.
Sudah lari-lari, ketarik lagi di PeaceGen. Tapi ya sudahlah saya sedang keluar
rumah dan menikmati suasana yang asyik ini dulu, tidak perlu memikirkan ini-itu
yang tidak perlu. Karena suasana hati semakin membaik dan ceria, malam kedua di
Cilegon saya berkumpul kembali bersama teman-teman PeaceGen. Sama seperti
biasa, seru.
Berlanjut hari terakhir dan saatnya
pulang. Setelah melewati keseruan, saya harus dilanda kembali ketegangan dengan
mengalami kecelakaan mobil tiba-tiba. Yaiyalah tiba-tiba, masa berencana. Tapi
lumayan lah kecelakaan ini jadi pengalaman pertama yang seru juga. Alhamdulillah.
Oktober
Pertemanan
di biMBA makin seru dan berwarna. Kami bagi raport bulan ini. Kami juga sering hang-out. Lebih terbuka untuk cerita
satu-dua hal. Saling dengar-bicara membuat hati lebih ceria, meski harus
menghadapi tingkah anak-anak yang luar biasa.
Kondisi di rumah berjalan biasa.
Kondisi Ayah stabil, ya meski ada perubahan-perubahan ganjil. Yang menyedihkan
semenjak sakit, kami jadi melupakan tradisi mengkaji Al-Quran di waktu magrib
sampai isya. Kami jadi masing-masing sekarang. Tadarus sekedar tadarus saja,
tidak mendalami. Hafalan surat perlahan menghilang. Apalagi semenjak Septi dan
Ifa kuliah. Mengaji ini semakin dilupakan. Menyedihkan sekali. Padahal ini
satu-satunya kesempatan untuk berkumpul dan mendengar bincang bersama mereka. Tapi
terpaksa hilang.
Muka bosan karena sudah selesai sidang sejak pagi tapi harus menunggu teman-teman lain, tanpa teman, sampai malam. Mereka sih enak, saya sendirian. Ingin cepat pulang takut dibilang gak solid, nasib. |
Yang cukup menyenangkan, 7 Oktober ini saya berhasil daftar sidang. Kemudian melewati sidang di tanggal 14 Oktober dengan SANGAT MUDAH. HAHAHA selalu sombong. Tapi betulan sangat mudah dan sangat menyenangkan malah. Bukan seperti sidang-presentasi, tapi seperti bercerita dan tanya-jawab akrab biasa. Saya juga tidak menyangka bisa seluwes itu improvisasi dengan full English. Asli saya tidak menyangka bisa sekeren itu bahasa Inggrisnya saat sidang HAHAHAH. Tiga dosen penguji pun hadir semua tepat waktu, teman-teman lain malah harus sidang dua-tiga kali secara online dan offline. Sementara saya langsung sekali, offline di tempat, dan dipermudah. Alhamdulillah, pakai segala dapat bonus nilai yang oke juga lagi, double Alhamdulillah. Ya, meski saya sempat iri pada yang lain, karena mereka semua ada yang mendampingi sepanjang hari ketika sidang, teman-teman, keluarga, pasangan. Ditunggui sampai malam lagi, diantar-jemput, astaga. Diucapi selamat banyak orang. Diberi hadiah. Animonya terasa sekali, Awalnya saya merasa tidak perlu itu, ya memang tidak perlu kan? Toh tidak ada bedanya dengan presentasi biasa. Tapi cara mereka semua yang seperti itu memengaruhi saya juga sedikit. Kenapa sih orang-orang harus seberlebihan itu. Biasa saja bisa gak sih? Gak tahu apa ada orang yang apa-apa selalu sendiri? Tapi Alhamdulillah sih, jadi tidak merepotkan. Saya juga tetap dapat hadiah dari beberapa orang. Beberapa orang yang akan selalu saya kenang. Enaknya sedikit, bisa mudah teringat dan saya jadi gak perlu repot-repot balas budi ke banyak orang. Terasa jadi ekslusif. Duh tulisan saya makin ngawur.
Tapi beneran, saya bersyukur sekali
karena bisa melaluinya meski tanpa iringan siapapun. Saya justru merasa lebih
istimewa dan tampil beda. Alhamdulillah.
November
Usai sidang, urusan masih agak
panjang, dan masih juga menghabiskan banyak uang. Sidang kemarin ternyata masih
belum cukup. Saya masih perlu urus berkas dengan bayar ini-itu, ditambah saya
harus minta lagi tanda-tangan ketiga penguji dengan ‘membawa tentengan’. Haduh,
bukannya tidak ikhlas, tapi ‘tentengan dosen’ itu cukup mencekik leher juga sih
ya. Ya sudah, harus ikhlas, tetapi kan tetap masuk perhitungan uang kas ya
walau ikhlas. Sudah selesai semua. Terakhir, adalah daftar wisuda yang juga
berbayar pastinya. Baiklah pembayaran terakhir ini kita sebutkan saja
nominalnya Rp375.000. Tidak tahu ya, apa ini termasuk murah atau mahal? Buat
saya sih cukup mencekik juga ya. Sidang dan proses kelulusan membuat saya
semakin miskin saja setiap harinya.
Eits, saya hampir lupa, setelah
kisah September di Cilegon itu, akhirnya saya kembali lagi di PeaceGen. Huah. Kali
ini saya terlibat acara kepanitiaan juga. Padahal di tanggal yang sama saya
juga ingin mengikuti sebuah acara dan bertemu orang. Namun, namanya takdir. Akhirnya
saya memilih tetap di acara PeaceGen. Alhamdulillah bisa membuat saya melupakan segala
kemiskinan setelah uang-uang saya dirampas paksa oleh kampus sultan sialan itu.
Ya sudahlah minimal makan di sini gratis dan bisa ngobrol, tak disangka
penginapannya juga di luar ekspektasi, gak terlalu oke, tapi tetap ini di luar
ekspektasi. Makan, penginapan, dan teman-teman ngobrol adalah sebuah kemewahan hidup
buat saya. Orang-orang ini memang anti-depresan terbaik. Terima kasih.
Alhamdulillah.
Di November ini juga saya cukup
padat tawaran kegiatan, MC, dan mengisi suatu pendampingan. Alhamdulillah
kemiskinan saya pelan-pelan terobati. Entah dari mana asalnya, tawaran yang
tiba-tiba datang saja. Memang matematika Allah selalu penuh kejutan.
Desember
Desember
ini saya lalui dengan egois. Saya mencoba tidak memberi uang belanja di rumah.
Habis saya kesal dibilang pengangguran. Ya sudah sekalian saja bertingkah
seperti pengangguran. Kesal juga dikatai lulus susah, dapat kerja susah. Kesal
juga selalu ditanyai memang mau begini-begini terus? Kesal juga dengan minta
ini minta itu setelah perkataan-perkataan tadi. Saya sekarang sudah tidak bisa
marah-marah dengan teriak atau maki-maki. Akhirnya saya memutuskan diam saja di
rumah. Tidak memberi uang belanja, menantang, toh saya kan pengangguran. Di
mana-mana pengangguran minta-minta bukan diminta-minta kan?
Sepuluh hari saya lalui begitu,
memberi benar-benar seperlunya kalau saya sudah kasian sekali, HAHAHA jahat ya?
Memang. Tapi saya tidak bisa sejahat itu rupanya. Orang-orang rumah tetap bisa belanja
tanpa saya. Mereka tetap bisa makan tanpa uang belanja dari saya. Dengan tidak
memberi uang belanja apakah uang saja jadi awet atau bertambah? Tidak juga. Saya
mempelajari satu hal lagi di sini, bukan mereka yang butuh pemberian saya. Tapi
saya yang merasa butuh penerimaan mereka atas pemberian saya. Pemberian yang dilengkapi sebuah keikhlasan dan ketulusan. Yang
memberi makan mereka bukan saya, tapi Allah. Jika saya menutup tangan untuk memberi.
Allah selalu punya tangan-tangan lain untuk memberi. Dan saya tidak melewatkan
atau bahkan kehilangan kesempatan menjadi salah satu tangan itu. Tidak peduli seberapa
pedas perkataan yang saya terima. Saya bertekad menjadikannya sebagai pecutan
diri agar lebih giat lagi.
Kalau
ada yang bertanya, apakah impian dan target-target saya tahun ini tercapai?
Jawabannya TIDAK. Jika pun ada, semuanya meleset tak karuan. Tapi justru banyak
kesempatan indah yang saya dapati di tahun ini. Sebuah pendewasaan diri.
Kisah
dari Januari sampai Desember itu hanya sebuah intisari. Banyak hal suka dan
duka yang berseliweran sepanjang waktu di tahun ini. Bertemu dan berpisah
dengan orang-orang. Saya jadi ingat perkataan seorang teman, "Perjalanan hidup yang nikmat justru tercipta dari lika-liku yang bangsat. Dari sana biasanya tercipta pelajaran dan catatan sejarah yang dahsyat."
Tahun 2022:
Saya
tidak ingin berharap bisa dicintai oleh orang lain, tidak ingin berharap
mencapai prestasi membanggakan, tidak ingin berharap mendapat pekerjaan dengan
gaji impian, tidak ingin berharap pergi ke tempat-tempat bagus, tidak ingin berharap meraih banyak kesempatan dan kebahagiaan.
Saya tidak ingin terlalu berharap hal-hal seperti itu lagi. Terlalu banyak
menuai kecewa jika tidak terwujud.
Saya berharap, Allah kasih saya kesempatan menjalani hidup yang diberikan-Nya sebaik mungkin. Saya berharap Allah persiapkan dan teguhkan hati, jiwa, dan raga saya untuk mengalami momen kehilangan-kehilangan yang mungkin akan saya alami. Saya berharap Allah kuatkan diri saya untuk melewati semua beban, rasa sakit, dan kekecewaan yang nanti pasti akan semakin berat. Saya berharap Allah selalu menemani setiap langkah dan menjadi alasan dari setiap pilihan yang saya pilih dalam hidup. Saya berharap jika tahun ini ditakdirkan sebagai tahun terakhir, semoga saya berkesempatan mengisinya dengan kebaikan, kesabaran, ketulusan, dan kecintaan mendalam pada hidup saya dan pada Dzat yang menghidupkan saya tanpa rasa sesal dan menyalahkan.
Komentar
Posting Komentar