ROLLER COASTER YEAR: Perjalanan dari Guru ke Buruh


ROLLER COASTER YEAR: Perjalanan dari Guru ke Buruh

Oleh: Ananda Musdalifah

 

Thank You My Roller Coaster Year..

Tidak ada satu pun manusia yang mampu meramalkan dengan pasti apa yang akan terjadi pada dirinya esok hari. Oleh karenanya, manusia selalu rajin menyiapkan rencana, target, dan harapan yang melangit.

Saya pun termasuk salah satunya.

Sebelum memasuki 2022 saya membuat sebuah resume perjalanan 2021 yang menurut saya cukup berliku. Tak lupa saya selipkan harapan untuk perjalanan selanjutnya menyambut 2022. Namun entahlah, saya harus bersyukur dan berbahagia, atau sebaliknya. Pasalnya nyaris seluruh harapan itu terkabulkan tahun ini. Siapa sangka?

Harapan itu klise sekali. Harapan yang sesungguhnya sedikit menyedihkan saat terkabulkan. Dengan bodohnya saya memohon harapan untuk tidak banyak membuat harapan. Harapan untuk siap atas sebuah kehilangan.

Harapan yang saya kira sudah sangat sederhana sehingga tidak perlu menuai kecewa. Bahkan dengan bodohnya, saya mengatakan harapan untuk tidak ingin lagi berharap meraih banyak kesempatan dan kebahagiaan. Benar-benar tidak masuk akal.

Namun pada akhirnya terlintas juga sebuah protes menuntut dispensasi, “... ralat ya Tuhan, sesungguhnya hamba-Mu ini tak cukup mampu, ...”

Meski demikian, roller coaster tak selalu soal kengerian yang memacu adrenalin. Roller coaster juga memberikan sensasi baru nan menakjubkan yang turut memacu dopamin.

So, here we go.

***

Everything start from 00:00. 01 Januari 2022.

Dimulai dari harapan “.. tidak ingin berharap mendapat pekerjaan dengan gaji impian, ..”  

Padahal sesungguhnya saya ingin mendapatkannya, terlebih setelah lulus S1. Maka saya sudah sibuk sejak akhir tahun melamar berbagai pekerjaan. Mengikuti rangkaian seleksi dari satu lowongan ke lowongan yang lain. Entah mengapa saya harus membohongi diri sendiri dengan melangitkan harapan yang bersebrangan dengan keinginan sesungguhnya.

Januari ini saya menerima tawaran menjadi pelatih English Club di SMA. Saya juga masih bekerja di Bimba saat itu. Tentu dengan niat segera resign untuk mencari better offer, pekerjaan dengan gaji yang serius. Selama ini saya selalu bekerja dengan gaji yang becanda. Saya mengakali dengan membesarkan hati bahwa saya masih kuliah sehingga tidak masalah jika masih bekerja dengan gaji seperti itu. Namun, tidak lagi sekarang.

Saya meladeni berbagai macam panggilan kerja dengan antusias. Tidak peduli linear atau tidak dengan riwayat pendidikan. Online atau offline.

Herannya, setiap kali sesi wawancara dengan rekruter saya selalu di ping-pong. Di berbagai bidang pekerjaan, rekruter selalu bilang saya lebih cocok di pendidikan, ditanya kenapa tidak melanjutkan saja, you already at the right place. Sementara itu, kenyataan hidup bilang, “kamu mau gini-gini aja?”

Dan saya memilih berdalih sekali lagi. 

Tidak sia-sia juga. Akhirnya saya dapat penawaran kerja sebagai Repoter Tribun Banten. Menjadi wartawan? Siapa takut!

Saya diminta untuk bergabung di pertengahan Januari. Saya menawar bergabung di awal Maret karena harus menyelesaikan urusan di Bimba lebih dulu. Tapi karena mereka butuh segera, saya diminta segera bergabung di awal Februari. Take it or leave it.

Penyakit yang muncul dari hadirnya pilihan adalah keraguan. Sementara nekat dan terdesak oleh keadaan adalah obat penawar yang menawan.

As you can guess. I take it. Dengan segala risiko dan tantangannya.

Saya mengabari penawaran kerja ini pada orang tua. Ditanggapi dengan warning untuk tidak perlu dilanjutkan. Tapi karena bentuknya hanya rekomendasi untuk jangan melanjutkan, saya memutuskan untuk tetap menandatangani offering letter dan melengkapi berbagai berkas untuk kontrak kerja.

Sementara di Bimba, saya diminta untuk mematuhi proses penyelesaian tugas sampai akhir Februari agar gajinya tetap dibayarkan. Cukup dilematis. Saya butuh gaji Bimba untuk pegangan kerja di Tribun, tapi rasanya mustahil untuk menggenggam keduanya.

Sambil memikirkan bagaimana keputusan terbaik yang akan saya ambil, saya merileksasi diri dengan bermain-main. Menghadiri Kongres Ikadubas dan menyelesaikan kepengurusan. Ikut serta ke Bandung di acara PeaceGen. Hangout dengan guru-guru Bimba. Dan tetap meladeni panggilan interview online dengan gaya. Dalam dua kali interview saya bertingkah tengil menjadi diri saya sendiri. Rasanya puas sekali mampu menjawab pertanyaan rekruter apa adanya. Tidak gentar mengatakan ‘tidak’ atau menawar gaji sesuai keinginan, langsung tanpa menggunakan bahasa diplomatis. Mungkin terkesan kurang sopan, but it’s one of the worth it thing that I ever (also can) do.  Tentu interview itu berakhir dengan penolakan.

Allahumma khirli wakhtarlii. Allahumma as alukat taufiqo limahabbika minal a'mali wa shidqot tawakkuli 'alaika wa husnazh zhonni bika.

"Ya Allah, pilihkanlah untukku (yang lebih baik) dan pilihlah untukku. Ya Allah, aku memohon pertolongan kepada-Mu untuk mengerjakan amal-amal yang Engkau cintai, kepasrahan yang benar kepada-Mu, dan berprasangka yang baik kepada-Mu."

Saya menutup Januari dengan keyakinan. Jika keyakinan tidak dibahas, maka hilang sebagian dari diri manusia.

***

Move to .. Februari.

Y todo lo que hagamos con el alma. Será para nuestra calma.

Saya menjadikan cuplikan lirik lagu Mi Amor itu sebagai caption Instagram untuk sepuluh slide foto saat di Bandung. Semua yang kita lakukan dengan jiwa memang bertujuan untuk meraih ketenangan.

Di permulaan, saya merasa everything goes beyond my expectations. Allah gives suprise that unpredicted, unexpected, unbelievable. This is not about what I like, but what is best to me.

Saya mengabari rekan-rekan di Bimba, tanggal 2 Februari saya sudah mulai bekerja di Tribun. Disaat bersamaan saya mengakali agar tetap bisa bekerja di Bimba sampai akhir Februari bagaimana pun caranya. Pagi-pagi saya datang ke Bimba. Kebetulan saya diminta memantau dan men-training tiga guru baru untuk unit Balaraja. Lalu saya berangkat ke Serang. Syukurlah saya punya teman-teman kerja yang baik dan mau membantu.

Hari pertama setelah mengurus berkas, saya langsung mendapat training dasar jurnalistik dan kode etik wartawan. Sebelum jam makan siang saya sudah disuruh turun ke lapangan untuk meliput. Materi liputan perdana saya adalah membuat feature tentang Masjid Agung Ats-Tsauroh Serang dan biografi jurnalistik imam masjid. Dua tulisan di hari pertama yang langsung dipublikasikan. Berikutnya berlanjut dengan target liputan dan tulisan yang ditambah. Mas Agung bilang reporter di sini ditarget menghasilkan tulisan sekitar lima sampai tujuh sehari.

Saya menyukai pekerjaan ini. Menggali informasi dasar. Mengamati. Mewawancarai. Berkomunikasi dengan para narasumber. Meramu tulisan. Rasanya puas dan ada kebanggaan tersendiri saat nama saya tertera pada tulisan yang dipublikasikan. Tidak ada kendala serius dengan proses training, liputan, atau penulisannya.

Saya justru terkendala dengan kendaraan. Proses liputan ini harus menggunakan kendaraan pribadi. Saat rekrutmen memang sudah dijelaskan. Dan seperti biasa, saya selalu bilang bisa-bisa-bisa. Pakai angkot dan ojek online sangat menguras uang, melelahkan, dan gak praktis. Akhirnya saya bilang ke orang tua tentang kendala ini. Berharap bisa dipinjamkan motor untuk dipakai kerja.

Boom! Tidak bisa. Tidak disetujui. Disuruh berhenti. Namun, saya tetap lanjut esoknya. Meminjam motor rekan editor yang terlihat sudah mulai sebal terus-terusan dipinjam. Juga khawatir karena saya belum buat SIM. Padahal Mas Agung mau bantu untuk buat SIM pakai relasinya, jadi gak akan ribet, lama, dan lebih murah.

Seminggu ini saya pergi pagi-pagi ke Bimba memantau dan men-training, setelah itu berangkat ke Tribun untuk di-training, lalu turun liputan ke lapangan sesuai instruksi, kembali lagi ke Tribun lanjut nulis dan publikasi. Sampai di rumah malam. Capek otak iya, fisik lebih lagi, mana uang pas-pasan buat makan, ongkos, dan bensin untuk motor pinjaman. Pulangnya kena omelan. Tak pelak lagi.

Ayah marah. Mama khawatir. Ayah bicara keras dan panjang lebar menyuruh berhenti bekerja di sana. Bukan lagi ultimatum, tapi perintah. Berisiko menjadi wartawan. Bercerita tentang pengalamannya menjadi wartawan dulu. Satu dua aku menjawab membela diri. Selebihnya diam, mendengarkan. Mama setuju dengan Ayah kali ini.

Saya tidak pernah kesal dengan omelan itu. Saya meyakininya sebagai wujud perhatian dan kasih sayang. Yang membuat kesal adalah kebimbangan saya dalam memutuskan. Setelah melalui proses cukup panjang, merasa sia-sia sekali langsung menyerah begitu saja. Saya juga bingung ke mana saya harus melangkah selanjutnya. Sementara Ayah dan Mama berulang kali bertanya, “Emang mau di Bimba terus? Gak mau cari kerja yang lain?”

Saat itu saya sedang reaktif dan sensitif, saya menganggap pertanyaan mereka adalah tuntutan yang sulit saya penuhi. Merasa seperti anak yang tidak berguna. Padahal saya sudah berusaha cari kerja kesana kemari. Maka saya selalu sengit menanggapinya. Padahal seharusnya saya bisa menjelaskan sedikit saja lebih baik. Toh, mereka hanya bertanya. Tapi saya terlanjur menanggapi dengan kenegatifan.

Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti menjadi reporter. Selain berat tidak punya kendaraan, saya merasa tidak percaya diri karena tidak mengantongi restu orang tua. Saya menghubungi Mas Agung dan HRD. Mereka menyayangkan, agak kesal, tidak terima, tapi tetap memaklumi dengan sangat baik. Terima kasih Mas Agung dan Mas Denny.

Saya kembali full time bekerja di Bimba. Lalu Sabtu atau Minggu mengisi English Club. Takdir seolah menyeret saya agar tak boleh jauh dari pendidikan. Seperti sudah digariskan menjadi guru.

I used to think life was a tragedy, but it’s a comedy.

Posisi di Bimba, lingkungan, dan teman-teman yang saya miliki di sini sebenarnya sama sekali tidak buruk. Justru ini jadi pekerjaan cukup fleksibel ternyaman dengan teman-teman yang menyenangkan. Saat itu, Bimba benar-benar jadi rumah kedua, baik tempat maupun orang-orangnya.

Sebenarnya bisa saja saya membatalkan pengajuan resign ini untuk cari aman. Manajemen pusat juga masih belum menginformasikan siapa penggantinya. Rekrutmen dua guru baru juga terkendala. Tapi saya tetap memilih untuk pergi dan menyelesaikan pengajuan resign sampai akhir Februari. Entahlah, saya tetap ingin mencoba melawan arus. Saya penasaran, apakah menjadi guru adalah takdir yang benar-benar mutlak digariskan?

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui,” (QS. Al-Anfal: 53)  

Seolah sebagai tanggung jawab terakhir, saya seperti diperas lebih kencang dari biasanya. Saya diminta mencari kontrakan baru untuk Bimba. Mencari dari satu tempat ke tempat lain. Begitu di-acc saya diminta terus koordinasi soal harga, bangunan rumah, listrik, dan macam-macam. Saya bolak-balik ke PLN untuk urus listrik kontrakan baru.

Sampai akhirnya jadi, kami pindahan ke kontrakan baru. Saya pun ikut packing dan beres-beres. Padahal sebentar lagi saya akan resign. Namun baiklah, seru juga. Hitung-hitung dedikasi terakhir.

Sedih sekali momennya bisa kebetulan bersamaan. Saya berhenti. Bimba pun pindah. Hampir dua tahun di sana, benar-benar jadi rumah. Sering menginap di sana. Menyelesaikan skripsi. Numpang mandi dan nyuci. Kalau ada teman jauh, bukan disuruh ke rumah malah ke Bimba. Setiap pusing larinya ke Bimba menyendiri. Teman-teman yang support dan mengerti. Ngobrol random juga asyik. Ngobrol serius balik ke random. Ketawa ketiwi soal anak-anak.

Saya juga dapat surat perpisahan yang ditulis tangan panjang lebar dari Bu Sinta. Meski geleng-geleng karena niat banget nulis padahal bisa ngomong langsung, tapi seneng dan teharu juga. Dari dulu penasaran gimana rasanya dapat surat cinta. Akhirnya dapat juga, walaupun bukan surat cinta sih.

Pokoknya terima kasih Bu Nisa, Bu Feby, Bu Elvin, Bu Nilah, Bu Ulfi, Bu Sinta, Bu Eldina, Bu Elma, Bu Puja, Bu Zia. Dari yang risih dan gak mau dipanggil Ibu sampe jadi kebiasaan. Love you so much girls! Thank youuuuuuuu for thousands.

Februari ini diakhiri dengan foto studio dan mengirim belasan lamaran di linked in, jobstreet, e-mail. Dengan harapan semoga Allah berbaik hati dengan segala kekuasaan-Nya.

“Dan milik Allah kerajaan langit dan bumi; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Imran: 189)

***

Perjalanan hidup kita selalu tentang RA.HA.SIA.

Rasa. Hari. Manusia. Mengungkap rahasia berikutinya... Maret.

Mendekam di rumah selama enam hari dengan gelar baru sebagai pengangguran. Enam hari yang saya isi dengan mengirim belasan lamaran setiap harinya di berbagai platform jobseeker. Lulus S1 rupanya tidak menjamin kehidupan karir lebih gemilang.

Penat sekali membayangkan tidak dapat melakukan banyak hal. Resah sekali saat tidak bisa membantu banyak kebutuhan di rumah, karena harus terpaksa mengkhawatirkan diri sendiri lebih dulu. Saya berhemat habis-habisan. Semakin perhitungan. Walaupun diterima kerja, kita harus tetap punya modal untuk biaya hidup sebelum gajian pertama kan? Saya bukan kebanyakan anak yang diberi kemudahan meminta atau meminjam. Maka saya terpaksa membatasi kontribusi ke rumah. Sangat berhemat. Ketahuilah, saya sendiri merasa sakit hati bertindak sepelit itu.

Money can’t buy happiness. But, money can buy some form of happiness; a good sleep, peace of mind, freedom, time.

Money can’t solve all problems. But, money can solve money problems; sandang, pangan, papan.

Money can’t buy happines. But, money can reduce our pain, stress, anxiety.

Keterbatasan uang membuat saya kekurangan banyak hal. Kurang bisa tidur nyenyak, pikiran tidak damai, tidak bebas, terbelenggu oleh waktu.

Keterbatasan uang membuat saya merasa tidak berguna dengan ketidakmampuan menyelesaikan permasalahan sandang, pangan, dan papan keluarga.

Keterbatasan uang sempurna meningkatkan rasa sakit, stress, dan cemas setiap waktunya.

Dan keterbatasan uang memaksa saya memproduksi rasa sabar lebih banyak dari biasanya. 

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 155)

Meski begitu, saya tidak mampu lebih banyak lagi memproduksi kesabaran dan memilih pergi. Momen menganggur ini mungkin timing yang tepat untuk melakukan perjalanan jauh.

Saat ada waktu dan badan sehat, tidak punya uang.

Saat badan sehat dan punya uang, tidak ada waktu.

Saat punya uang dan waktu, badan sakit.

Dan saya nekad memilih yang pertama.

Destinasi pertama yang saya tuju adalah rumah Dinda. Egois memang, menyelamatkan diri dari tuntutan berkontribusi di rumah. Berbekal keegoisan itu saya percaya Allah akan memberi rezeki-Nya walau bukan melalui saya. Pasti akan ada jalannya.

Saya sudah mengatakan niatan ini ke Mama beberapa hari sebelumnya. Sementara Ayah, saya mengatakannya di perjalanan saat Ayah mengantar ke stasiun.

Beberapa hari singgah di Cibinong. Menjadi parasit yang numpang tidur dan makan gratis di sana. Lalu saya berangkat ke tujuan selanjutnya: Jogjakarta. Tanpa tujuan apapun. Kalaupun ada, tujuan saya hanya ingin melakukan perjalanan jauh. Menikmati lari dari hiruk-pikuk ambisi yang membuat penat kepala. Budget yang saya anggarkan Rp550.000. Menumpang kereta ekonomi paling murah. Sendirian.

Karena jadwal kereta berangkat 06.20, malamnya saya sudah tiba di Stasiun Senen. Sebelumnya saya sudah mengontak Wanda saat terpikir ingin melakukan perjalanan ini. Kebetulan juga dia tinggal di Sunter Agung. Kabar lebih baiknya, dia selalu welcome untuk membantu. Wanda menjemput saya ke stasiun, lalu menuju kostnya untuk taruh barang-barang bawaan. Setelah itu saya diajak makan dan ditraktir pula. Sempurna menjelma parasit.

Selesai makan, Wanda kembali mengantar saya ke kostnya sementara dia menumpang tidur di rumah kerabatnya di daerah Jakarta Timur. Dia juga menawari untuk mengantar saya ke stasiun besok subuh padahal dia harus berangkat kerja pagi. Bolak-balik demi teman super merepotkan ini. It’s such a blessing to having you as my friend since we were college. For many helps you’ve done so far, I always need to say; Thank you, Wanda.

Saya melanjutkan perjalanan dan tiba di Stasiun Lempuyangan 15.20. Kali ini saya merepotkan teman SMA yang juga selalu baik hati membantu. Gerris menjemput saya di stasiun, lalu kami menuju kostnya. Saya menginap di sana, bercerita banyak sampai tidur. Saya bukan hanya merepotkannya untuk menjemput dan menumpang penginapan gratis, dia juga ikut menemani saya keliling Jogja. Paket lengkap gratis teman ngobrol, tour guide, dan kendaraan. Malam terakhir di Jogja kami berkunjung ke asrama Wahyu, bertiga makan ayam geprek asam manis, lalu berakhir di alun-alun.

Niat awal saya hanya ke Jogja. Tapi berkat mereka, perjalanan ini tidak berhenti di situ. Menambah satu personel, Dyah, esok pagi kami pergi ke Solo. Rumah Opi.

Selesai di Solo, kami kembali melanjutkan perjalanan ke Tawangmangu. Niatnya solo trip malah jadi konvoi kecil-kecilan. Saya, Gerris, Wahyu, Dyah, Opi, dan Lintang. Berenam menjemput pemandangan indah dengan jalan menanjak dan pulangnya dihadang badai hujan.

Malamnya setelah istirahat, ngobrol ngalor ngidul, dan makan, Lintang dan Wahyu pisah haluan.

Tujuan kami berempat esok paginya adalah renang di Umbul, Klaten. Sekalian menjemput tempe mendoan dan Selat Solo.

Sorenya Gerris dan Dyah pisah haluan kembali ke Jogja. Setelah itu saya menginap semalam di rumah Opi. Esoknya sampai malam Opi menemani wisata kuliner kecil-kecilan dan memburu oleh-oleh. Sekali lagi saya dapat paket lengkap gratis untuk penginapan, tour guide, teman ngobrol, dan kendaraan.

Besok malam saya sudah harus pulang. Jadwal keretanya 21.20.

Paginya Lintang mengajak saya dan Opi main ke Salatiga. Padahal kami tahu dia kurang tidur. Setelah perjalanan kemarin dia langsung lanjut kerja trip rombongan ziarah ke Cirebon. Seolah manusia super, bukannya istirahat dia malah mengajak berpergian, yang otomatis kami tolak.

Tapi namanya juga Lintang, sorenya dia tetap datang ke rumah Opi. Setelah isya dan saya selesai packing, kami keluar cari makan. Saya meminta untuk makan di Padang Murah yang bisa ambil sendiri ala prasmanan. Selain penasaran, tentu saya mengincar harga yang murah. Tapi kami malah ditraktir Lintang. Jadi jauh lebih murah hehehe. Setelah itu kami mampir beli dimsum. Saya bungkus untuk perjalanan di kereta. Setelah selesai mereka berdua mengantar ke Stasiun Purwosari.

Untuk Gerris, terima kasih sudah antusias menyambut kedatangan di Jogja dan obrolan-obrolan yang menarik. Terima kasih selalu jadi tuan rumah yang baik sejak SMA. Kue-kuenya selalu di hati, walau daku jarang beli. :’)

Wahyu si mantan pengantin wisuda yang rese, terima kasih sudah selalu mengompori kapan main lagi ke Jogja.

Dyah temen Gerris, nice to know you in this trip.

Opi, terima kasih sudah mau direpotin dan turut serta bersusah payah cari oleh-oleh, bercerita love life Anda yang sangat mind-blowing.

Lintang si super humble ke semua orang. Semoga karir di travelnya lebih gemilang. Semoga juga tahun ini bisa ketemu lagi sesuai rencana di Bromo dan Kawah Ijen ya. Aamiin! Hahaha.

Selanjutnya saya melakukan perjalanan 12 jam. Kembali ke Cibinong.

Eits, walaupun jalan-jalan, Saya tetap rajin mengirim lamaran setiap harinya, Dinda juga ikut rajin membantu. Saya mulai mendapatkan berbagai panggilan interview dan tes online lagi.  Saking frustrasinya dua minggu jadi pengangguran, saya sempat pasrah bergabung jadi kasir Toko Oleh-oleh Lapis Talas Bogor. Astaga!

Sekembalinya di Cibinong saya sedikit berfungsi kali ini, karena Dinda sebentar lagi melahirkan anak ketiga. Maka saya berperan jadi pengasuh dua anaknya saat dia kontrol dan melahirkan di rumah sakit. Hitung-hitung sedikit bayar jasa setelah makan gratis selama ini.

Sebelum Dinda melahirkan kami pulang ke Cikande, pernikahan adik suaminya. Saya ikut pulang ke rumah. Kembali ditanyai Ayah dan Mama soal kerja. Dan saya kembali menjawab dengan sungut-sungutan karena belum juga menemukan. Nasib.

Singkatnya, setelah Dinda melahirkan. Saya mulai mendapatkan dua panggilan kerja yang lebih serius. Dua-duanya menjadi guru. Padahal saya jauh lebih banyak melamar di bidang administrasi perkantoran, entah mengapa selalu berakhir dengan menjadi guru.

Lelah juga mencoba melawan arus. Menganggap ini sudah jadi hard destiny yang tak bisa dihindari, saya pergi memilih menghadiri panggilan tes dan interview pertama dari MLI di kawasan PIK. Bogor–Jakut dengan moda KRL dan Transjakarta butuh waktu tiga jam lebih.

Setelah melakukan tes dan interview, saya pasrah dan tidak terlalu berharap. Karena sistem di sini terlihat agak ‘mengerikan’. Terlalu elit untuk otak dan kemampuan saya yang pas-pasan. Saya mungkin bisa percaya diri dengan hasil tes tulis, tapi tidak dengan interview dan tes microteaching-nya.

Kalau dilihat sekilas memang keliatan lancar dan saya bisa menjawab dengan cukup baik. Tapi karena tahu dua pewawancara ini berkompeten, saya tidak terlalu berharap dengan tata bahasa saya yang ngawur. Saya cukup berbangga dengan ‘confident’ yang saya miliki, setidaknya menyelamatkan saya untuk berani menyelesaikan sesi hari itu tanpa terlalu memalukan. Namun, setelah beberapa hari saya dipanggil kembali untuk tes selanjutnya.

Saya datang dengan lebih semangat. Kali ini interview dan tes microteaching lebih serius. Karena sudah kedua kali dan sudah lebih prepare, performa saya lebih baik dari sebelumnya. Saya feeling akan diterima. Yup, benar! Menunggu sekitar 30 menit setelah tes, saya dipanggil kembali untuk negosiasi gaji dan ketentuan lainnya. Saya diterima. Mulai training 4 April.

Sapiens modern seringkali bilang, “Kita harus berani melawan arus. Penting!”

Namun aku ingin berdamai dengan arus saja. Bersama menjelma kincir mikrohidro. Menjelma listrik. Menjelma cahaya.

Perjalanan menganggur sebulan ini terlewati juga. Masa bodoh dengan takdir kembali menjadi guru. Terima sajalah. Lagipula kali ini saya akan menjadi guru dengan sensasi berbeda. Mengajarkan bahasa Inggris ke anak-anak yang jauh lebih jago bahasa Inggrisnya. Entah, apakah ini bunuh diri.

Maret superseret ini berakhir dengan kesempatan melepas gelar pengangguran.

Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS. Ath-Thalaq: 2–3)

***

Becoming a real crazy, not a ‘crazy rich’, starting at... April.

Sebelum mulai training tanggal 4, saya kembali pulang. Tentu untuk memberi tahu kabar cukup baik ini. Mama bertanya apa gak terlalu kejauhan dan capek dari Bogor ke Jakarta pulang pergi setiap hari. Ayah bertanya gaji, jenjang karir, sistem, dan kenapa mau stay di sini. Apa rencana dan tujuan saya setelah itu.

Sebetulnya, kalau saat itu pikiran saya bisa sedikit lebih rileks, pertanyaan-pertanyaan itu sangat menyejukan. Seharusnya saya bisa menjelaskan, berdialog, dan bertukar pikiran dengan lebih baik. Namun sebaliknya. Otak saya malah mentransmisikan arti negatif. Merasa memiliki orang tua yang serba salah. Tidak menghargai upaya anaknya. Tidak pernah support. Selalu menuntut. Dan macam-macam kenegatifan. Pikiran yang sangat disayangkan.

Kemarin, hari ini, besok, bulan depan, tahun depan, dan masa depan.

Kita gak pernah bisa berharap untuk terus didukung oleh orang yang sama, kelompok yang sama, circle yang sama, tim yang sama, rumah yang sama.

Bahkan saat ini saja kita gak pernah bisa tahu isi hati dan pikiran mereka sebenarnya.

Siapa yang bilang kalau hidup ini bukan perlombaan?

Saya sengaja pulang ke rumah agar bisa melewati hari pertama ramadhan bersama keluarga. Tanggal 4, Ayah semangat ingin mengantar dan melihat tempat kerja saya. Kami berangkat setelah subuh. Dari rumah sampai Balaraja dibonceng Ayah dengan motor, padahal kondisinya tidak cukup baik. Saya sempat misuh-misuh, karena setelah menunggu lama bus arah Kalideres tidak kunjung datang. Ayah terlihat berpikir alternatif lain. Lalu memutuskan naik Transjabodetabek (seperti mobil carry) rute Balaraja–Grogol. Dan kami berkali-kali tidak kebagian mobil dan berebut dengan banyak orang. Benar-benar Senin pagi yang hectic.

Semakin kesal dan uring-uringan. Ayah benar-benar berebut kali ini dan mengambil koper yang saya pegang. Begitu mobil selanjutnya datang, Ayah langsung ikut berdesakan. Kursi yang didudukinya diberikan ke saya. Tidak ada kursi lagi yang tersedia, Ayah disuruh keluar oleh sopir. Tapi Ayah tetap keukeuh masuk dan berdiri mepet dengan pintu masuk. Penumpang lain hanya geleng kepala.

Sampai Grogol, kami naik Transjakarta menuju Harmoni. Transit dan lanjut ke PIK. Kami berdiri. Tujuan Ayah ingin melihat tempat kerjaku gagal total. Bus padat dan posisi berdiri kami terpisah jauh. Saya kesulitan mencari Ayah saat hendak turun karena berjubel dengan penumpang lain. Ayah juga tidak punya ponsel lagi untuk ditelepon. Akhirnya saya turun tanpa Ayah.

Tapi tidak ada yang sia-sia. Momen itu adalah perjuangan terakhirnya mengantar saya untuk menghadapi fase hidup selanjutnya. Perjuangan tepat di hari ulang tahunnya yang ke-57. Selamat ulang tahun Ayah, untuk yang terakhir kalinya.

Melewati training di bulan ramadhan. Saya ditawari untuk tinggal MLI selama training agar tidak kejauhan bolak-balik Jakarta–Bogor setiap hari dan sekalian cari kost di sekitar sini. Sehingga bulan depan bisa langsung kost.

Training ini dibagi jadi tiga jenis. Training materi dan sistem khusus di MLI. Observasi teaching process guru-guru senior. Dan praktik mengajar onsite dan online yang disupervisi oleh guru senior. I got shock culture. Anak-anak level kindergaten dan primary saja sudah sepintar dan selancar itu bahasa Inggrisnya. Juga kemampuan guru-gurunya yang sudah autopilot. Namun saya tetap mencoba sebaik mungkin. Selalu belajar setiap malam dan selalu berusaha well-prepare sampai menyiapkan script untuk mengajar. Meski beberapa kali tetap diledek oleh anak-anak yang bahkan usianya di bawah enam tahun. Astaga!

Selain itu, biaya makan di sini juga mahal-mahal. Niat tinggal di MLI biar lebih murah ternyata salah. Struggle sekali untuk beli makan sahur dan buka puasa di sini. Menghabiskan hampir seratus ribu untuk sehari.

Akhirnya saya berhemat dengan pinjam panci listrik. Dimulai dengan makan mie instan dan telur. Lalu patungan dengan dua penjaga MLI untuk beli bahan makanan. Mbak Diva dan Mbak Weni yang masak. Saya tinggal makan. Oh ya, jam kerja saya dimulai 09.30–18.00.

Mama beberapa kali menanyakan gimana tinggal di sana, sahur dan buka pakai apa. Ayah bahkan menelpon sambil mengetawai anaknya yang hemat pol makan pake mie setiap hari, lalu menyarankan untuk pergi ke masjid kapuk supaya dapat buka dan sahur gratis. Mbok ya tidak ada masjid di sini, masjid kapuk itu jauuuhh. Hahahaha ada-ada saja.

Usai training saya mampir dulu beberapa hari di Cibinong. Lalu ikut sibuk menyiapkan kegiatan Peacesantren dengan jarak jauh. Sebenarnya malas, capek. Tapi sudah terlanjur ikut kepanitiaan karena berpikir mengisi waktu menganggur Maret lalu.

Acara peacesantren diadakan tanggal 23–24 April. Sehari sebelumnya saya pulang dulu ke rumah. Saya selalu terngiang-ngiang kalimat ‘siapa yang bisa jamin kita bisa ketemu lagi di ramadhan berikutnya.’ Maka saya ingin mengusahakan untuk makan sahur, berbuka bersama, dan menikmati suasana setiap ramadhan bersama keluarga lengkap di rumah. Sebelum semua makin sibuk. Sebelum ada yang pergi.

Seminggu terakhir ramadhan sampai libur lebaran saya habiskan di rumah.

Padahal saya ingin sekali i’tikaf di Masjid BI bareng keluarga seperti dulu. Pasti seru. Apalah daya. Keterbatasan uang membatasi banyak hal.

Namun begitu, track roller coster sedang datar kali ini jadi saya bisa bernafas lebih lega. Meski belum bisa bagi-bagi THR banyak, setidaknya saya bisa lebih tenang dan gak sewotan di libur panjang ini.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5–6)

***

Selalu ada tujuan atas kelahiran setiap manusia di muka bumi. Dan Allah tidak menciptakan apapun dengan kesia-siaan.

Menjemput hadiah-hadiah.. di bulan Mei.

Hadiah pertama, saya menerima take over anak-anak Miss Febri. Yang artinya saya sudah resmi memulai debut sebagai guru aktif di MLI. Saya memegang anak-anak dari level beginner sampai advance. Kalau sebelumnya saya merasa kesulitan menangani anak-anak usia dini karena mereka susah mengerti. Sekarang saya justru merasa ketakutan jika mengajari anak-anak primary dan high school level. Alasannya justru karena mereka selalu lebih cepat mengerti daripada saya.

Hadiah pertama ini saya terima dengan suka cita. Meski perjalanannya tak sesuka cita itu. Saya memutuskan untuk PP Cibinong–PIK setiap hari. Bangun 03.40. Menyiapkan bekal. Mandi dan siap-siap lainnya. Usai solat subuh, 04.50 saya berangkat diantar Kak Sidiq naik motor menuju stasiun. Perjalananan kurang lebih 20 menit. Menikmati dinginnya angin subuh Cibinong.

Jadwal kereta 05.20. Transit di Manggarai. Lanjut lari-lari naik tangga berebut dan berdesakan mengejar kereta arah Jakarta Kota. Terhimpit berdiri berdesakan bersama pejuang rupiah lainnya. Tiba di Jakarta Kota. Terus berlari lagi melewati JPO menuju Halte Kota. Menumpang Transjakarta ke arah PIK. Transjakarta dengan rute Balaikota–PIK ini jarang tapi amat padat penumpang. Jadi agar cepat kebagian harus berani, agresif, dan egois. Penumpang yang menuju arah sana banyak, jadi mustahil mendapat tempat duduk. Boro-boro duduk, berdiri saja gak kebagian. Saya sering nekat meneboros sampai diteriaki petugas karena sudah overload tapi tetap memaksa masuk. Pintu otomatis sulit tertutup dan penumpang di dalam oleng memaki-maki. Masa bodoh, daripada harus lama lagi menunggu bus selanjutnya. Lalu tiba di Halte Waterbom PIK. Saya jalan kaki sekitar 500 meter ke MLI.

Tiba selalu paling pagi. Langsung prepare materi dan bahan ajar. Memahami materi dan simulasi mandiri mengajar supaya tidak diledek lagi.

Istirahat satu jam, 12.00–13.00. Tapi mustahil utuh satu jam. Waktu belajar gak mungkin teng selesai pukul 12.00. Pasti lewat 1–5 menit, sudah termasuk beres-beres buku supercepat. Lalu solat dan makan siang. Diskusi dengan guru lain sebentar, tanya ini dan itu untuk mengajar. Pukul 12.50 harus sudah stay lanjut mengajar berikutnya. Paling bersih istirahat itu hanya 40 menit. Salah satu hal yang saya kurang suka jadi guru. Terlalu banyak preparation dan makan waktu tapi mana pernah dihitung lembur. Kalau gak dihitung loyalitas, ya dedikasi guru.

Di sini tidak ada jeda Ashar. Guru yang muslim harus pintar-pintar ambil celah. Entah di jamak saat zuhur. Atau izin ke siswa untuk ke toilet. Wudhu dan solat ashar kilat dalam waktu lima menit. Karena siswa di sini semuanya non-muslim dan orang tua mereka sangat strict dengan waktu, meski hanya kurang satu menit langsung protes dan harus diakumulasi di pertemuan selanjutnya. Maklum, mereka bayar mahal. Jadi saya mengakali dengan memberikan challenge yang bisa dikerjakan mandiri dalam waktu sekitar lima menit agar bisa solat.

Selesai mengajar 18.00. Solat magrib. 18.10 saya jalan supercepat ke halte. Sampai halte sekitar 18.25. Karena jadwal transjakarta tidak bisa diprediksi presisi, kadang saya harus lari-lari karena melihat bus sudah ada dari kejauhan. Kadang pas banget bergitu sampai halte, bus langsung datang. Kadang kalau lagi sial sudah lari-lari, tapi bus penuh bejubel. Terus nunggu bus berikutnya, yang sialnya juga penuh dan harus nunggu lagi. Bus ketiga harus buru-buru naik, karena sopir paling hanya kasih dua sampai empat penumpang untuk naik. Sudah seperti kumpulan ikan teri dalam kotak kecil. Capek, lemes, lapar, keinget harus nyiapin materi besok, berdiri berdesakan pula di bus. Belum lagi macet. Tungkai kaki makin lunglai. Telapak tangan makin merah.

Perjuangan pulang belum selesai sampai sana. Normalnya, pukul 19.25 saya sudah sampai Stasiun Jakarta Kota. Dan bisa lari cus naik kereta jadwal 19.27. Tapi kalau lagi macet sampai stasiun bisa 19.50. Dan naik kereta jadwal 20.10. ini sih mending setidaknya gak nunggu terlalu lama. Sering juga kalo sial, telat satu atau dua menit di jadwal 19.27. Telat semenit saja bisa mempengaruhi durasi tidur saya malam itu.  Kerja di MLI benar-benar harus strict dengan waktu yang presisi. Hikmahnya jadi lebih menghargai waktu.

Sampai di Stasiun Bojong Gede 21.15. Itu kalau normal. Gak normalnya bisa 21.55 atau pernah lewat dari pukul sepuluh malam.

Cobaan belum berhenti sampai disitu, Ferguso. Jangan lupakan Bogor adalah kota hujan. Gak cuma sekali dua kali malam-malam hujan lebat. Menerobos hujan lebat di malam hari menumpang motor yang dipacu lumayan cepat agar tidak terlalu lama hujan-hujanan.

Dingin dan menggigil? Jangan ditanya, itu baru sepersekian persen dari kejamnya dunia!

Let’s work hard, pray hard. Do the best and let God do the rest!

Terima kasih buat Kak Sidiq yang tetap bela-belain antar-jemput dengan kondisi cuaca begitu. Padahal harusnya bisa santai ngeteh malam di rumah setelah capek kerja.

Sampai di rumah. Bisa sepuluh kurang, sepuluh lewat dikit, atau setengah sebelas.

Langsung mandi. Salat Isya. Dan makan malam.

Terima kasih juga buat Dinda yang selalu siap sedia dengan hidangan makanannya. Ribet-ribet ngurusin bekel dan nyuruh makan malam. Meski harus urus rumah dengan dua balita dan satu newborn. Selamat ulang tahun ke 30, officially kepala tiga - anak tiga.

Oh ya juga Khaira Khansa. Bener juga ya kata orang, setelah seharian kerja ketemu anak di rumah itu jadi pelipur lara. Ya, walaupun ini ponakan, tapi ngerasanya seneng juga begitu pulang langsung disambut, ditanya-tanya, diajak cerita dengan tingkah ceriwis anak dua itu.

Seneng karena cuma ngobrol ketawa-ketiwi doang, gak perlu ngurus dan bisa langsung istirahat. Coba kalo anak sendiri, pulang kerja capek, malah ngurusin anak dan beres-beres rumah, makan belum tersedia, cucian numpuk. Waduh bisa makin gila saya!

Salut buat wanita karir yang terampil dan work–home balance. Angkat topi!

Sekitar pukul sebelas tidur.

Tidur sekitar empat jam setengah. And repeat.

Menjemput hadiah kedua, wisuda dan foto studio dengan keluarga.

Lulusnya Oktober 2021, wisudanya 15 Mei 2022. Untungnya itu hari Minggu. Dan tanggal  16 libur Waisak. Jadi, tanggal 14 selesai mengajar saya langsung menuju Cikande.

Saya baru beli alat make up awal Mei lalu, yang super murah. Toga sudah diambil oleh Ifa sebelumnya. Sempet heboh juga di rumah hahaha. Pada laporan Ifa dan Septi disuruh pakai toganya oleh Ayah. Akhirnya sarjana juga!

Saya ingin sekali mengajak keluarga untuk hadir menemani seremoni wisuda ini. Tapi apalah daya. Lagi-lagi uang membatasi. Saya harus sewa mobil. Traktir keluarga makan siang. Dan foto studio. Belum lagi karena masih corona orang tua tidak boleh masuk ke area prosesi wisuda.

Itu alasan mengapa saya datang ke wisuda sendirian. Bukan karena keluarga kurang peduli. Mama excited dan berkali-kali nanya bisa datang atau enggak. Ayah kalau diajak pasti mau aja.

Maafkanlah anakmu yang miskin dan harus terus-menerus berhemat ini ya. Sewa mobil dan makan siang di rumah makan pascawisuda saja gak mampu. Memang gak berguna!

Sebenarnya cukup sedih dan iri saat wisuda tanpa ada satupun yang datang. Bukan cuma keluarga, tapi juga teman-teman. Seperti tidak ada tujuan. Teman jurusan yang wisuda di kloter itu hanya belasan, itu pun mereka asyik dengan keluarga, pasangan, atau tamunya masing-masing. Saya hanya foto dengan beberapa teman. Malah saya dimintai tolong memotret rombongan wisudawan lain. Kadang suka kasian sama diri sendiri. Se-sendiri dan se-kesepian itu.

Tapi setelah itu, untungnya Ifa dan Naga datang. Sedikit memperbaiki suasana hati. Mereka bawa dua buket. Foto-foto sebentar, solat, lalu mereka pergi karena ada urusan lain. Buketnya saya suruh bawa lagi. Ribet kan naik angkot bawa-bawa buket, pakai kebaya pula.

Saya pulang jalan kaki ke depan gerbang sendirian lalu naik angkot. Sebenarnya kalau hari biasa sih gak masalah. Tapi karena ini momen wisuda, agak lain aja pulang sendirian naik angkot. Setidaknya bareng-bareng lah dengan wisudawan lain. Tapi sepertinya tidak ada juga wisudawan yang senasib dengan saya hari itu.

Saat perjalanan pulang, hujan turun menderas. Di momen seperti itu entah mengapa segala hal menyedihkan mendadak jadi ikut-ikutan menyeruak, timbul diingatan. Rese. Menambah suasana sendu saja.

Esoknya 16 Mei. Beruntung tanggal merah. Saya mengajak keluarga foto studio bersama. Setidaknya obat atas ketidakmampuan saya mengajak mereka ke prosesi wisuda kemarin. Ayah belagak sok-sok gak mau diajak. Padahal saya yakin Ayah hanya gengsi dan ingin dibujuk-bujuk. Yang lain sudah kesal dan mau pergi foto tanpa Ayah. Eits, tidak bisa. Ini foto keluarga. Semuanya harus ikut. Setelah dipaksa dan dilobi beli bensin, nasi padang, dan siomay. Kami berangkat bersama ke studio.

Cukup langka kami foto bersama. Mengabadikan momen. Yang siapa sangka ternyata jadi momen terakhir bersama salah satunya.

Terima kasih atas hadiah-Mu yang kedua ini.

Last but not least... Hadiah ketiga.

Tanggal 21, Dinda dapat informasi tempat kerjanya dulu sedang buka lowongan untuk administrator gudang. Bisa langsung kirim berkas kalau minat.

Sebenarnya saya sudah cukup matang dan pasrah menjadi guru di MLI saja. Saya sudah serius cari kost karena tidak kuat PP dan tidak enak dengan keluarga Dinda.

Semenjak di MLI saya sudah tidak merespons beberapa panggilan kerja. Namun, terbayang beberapa hal dan menimbang-nimbang, saya memutuskan untuk mengirim berkas lamaran.

Tanggal 23. Hari Senin, saat mengajar online saya dapat telepon. Panggilan interview dari KLA di hari Rabu, 25 Mei. Kebetulan juga 26 Mei tanggal merah.

Selasa 24 Mei setelah mengajar saya langsung pulang ke Cikande. Sampai rumah malam sekitar pukul sebelas. Supaya besoknya bisa langsung ke KLA.

Saya izin sakit tidak bisa masuk hari rabu di MLI. Sebenarnya tidak bohong juga sih, saya memang gak enak badan, pening, dan badan ngilu-ngilu. Karena dipaksa saja maka terlihat sehat.

Singkatnya, saya tes tulis dan wawancara bersama pelamar lain. Tes tulisnya hanya matematika dasar. Wawancara dengan pertanyaan biasanya.

Dan taraa.. sore sekitar pukul tiga saya ditelpon oleh HRD. Saya diminta mulai kerja per 2 Juni. Tapi setelah menawar, diperbolehkan mulai masuk tanggal 6 Juni.

Saya kembali lanjut mengajar di MLI esoknya. Dibekali makan siang oleh Mama. Anyway, selamat ulang tahun ke-52, Maa. Saya berangkat subuh diantar Ayah sampai Jayanti lalu naik angkot. Setelah mengajar saya pulang kembali ke Cibinong. Begitu terus sampai menerima gaji di tanggal 31 Mei.

Usai sudah perjuangan menerjang angin, hujan, badai, genangan, dan berdesakan dengan rimbunan manusia di moda transportasi masal Jakarta.

Perjalanan saya di MLI usai per tanggal 31 Mei 2022. Tentu dengan akhir yang sangat tidak baik. Karena mendadak resign, mengabari di hari H, tidak mencerminkan tanggung jawab dan profesionalitas. Saya disemprot habis-habisan lewat pesan WhatsApp. Ini kali pertama saya terkena makian serius yang cukup kasar dalam dunia kerja. Dan saya juga merasa bersalah karena tidak bisa memegang komitmen sendiri.

Tunggu, karena makian ini adalah hal baru apa perlu dimasukan sebagai hadiah keempat? Hahahaha.

Namun begitu, Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam.

“Dan terhadap nikmat Rabbmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS. Adh-Dhuha: 11)

Terima kasih atas hadiah-hadiah bulan Mei tahun ini. Juga satu tambahan hadiah kecil tentang pemahaman mencintai.

Seringkali orang bertanya, ‘Bagaimana seharusnya mencintai?’

Pemahaman yang baru saya temukan, cinta sama halnya dengan belajar. Ketika seseorang mengambil keputusan untuk mencintai, maka ia sudah siap masuk dalam proses pembelajaran dengan segala konsekuensinya.

Proses yang awalnya dipenuhi semangat dan ambisi. Bertemu dengan beberapa kesulitan memahami, lalu terpecahkan. Mulai jenuh dengan berbagai persoalan dan tugas yang tak kenal henti, lantas berdamai dengan mengerjakannya perlahan. Dihadapkan pada ujian-ujian yang kadang datang tak terduga. Namun juga memacu adrenalin untuk dapat menaklukannya dengan baik.

Setelah itu, sejenak bergembira, membuat selebrasi untuk merayakan keberhasilan dari lika-liku perjalanan di level satu.

Untuk kemudian, kembali lagi pada siklus sebelumnya dengan level yang meningkat. Dan terus berputar begitu siklusnya. Tanpa akhir. Toh manusia memang perlu belajar sepanjang hidupnya. Pun halnya dengan mencintai.

Mencintai adalah proses belajar sepanjang hayat. Mencintai Tuhan. Mencintai diri sendiri. Mencintai keluarga tempat kita dilahirkan. Mencintai pasangan. Mencintai teman-teman, orang sekitar, dan lingkungan.

Sebuah proses melelahkan penuh tantangan, tapi juga menyenangkan dan penuh kejutan.

Sama seperti belajar, orang selalu berlomba-lomba untuk mendapat nilai terbaik dan berprestasi bukan? Maka dalam mencintai, orang juga perlu berprestasi. Giat dan sungguh-sungguh.

Ah jadi terpikir, kira-kira bagaimana rasanya mencintai dan dicintai dengan giat dan sungguh-sungguh?

***

Back to home sweet home.

Expected the unexpected. Feeling (the darkest) blue in.. Juni.

Pada akhirnya semua akan pulang. Aku menyebutnya bulan kepulangan. Kepulanganku ke rumah dan kepulangan yang lainnya. Yang entah bagaimana terasa begitu rapi dan terencana.

Saat sudah menyerah dan ingin menikmati arus, takdir dengan mudahnya menepikan saya ke daratan. Daratan yang bahkan sering saya injak-injak sebelumnya. Menjadi buruh. Benar-benar penghadiran nikmat syukur yang unik.

Keputusan final untuk kembali ke Cikande dan bekerja di KLA. Saya kembali Jumat, 3 Juni.

Hari Sabtu saya memutuskan belanja bulanan untuk keperluan di rumah. Saat berbelanja saya mengambil satu renteng kopi instan untuk Ayah. Kasian setiap kali minta kopi selalu dicuekin. Dan benar, Ayah senang dibelikan kopi.

Sorenya saya berkumpul dengan teman-teman Bimba. Selalu seru bercerita panjang lebar dengan mereka. Menertawai akhir cerita saya yang UUBJ. Ujung-ujungnya Buruh Juga.

Tapi ya sudahlah, tidak buruk juga. Akhirnya saya bisa merasakan libur dua hari di akhir pekan. Pekerjaannya sangat santai. Rekan-rekannya baik dan mau membantu. Sholat bisa leluasa. Bisa disambi dengan kegiatan lain saat pekerjaan lowong. Tempat kerja dekat dengan rumah.

Terlepas dari status buruhnya, sebenarnya ini sudah jauh dari cukup. Gajinya memang standar, tapi mau minta sebesar apa lagi.. Malah sepertinya gajinya terlalu kelebihan untuk porsi kerja seperti ini. Saya malah bingung, kalau kali ini mau mengeluh dan tidak bersyukur, harus apalagi ya alasannya?

Bekerja di sini lumayan juga. Lumayan bingung karena harus cari jobdesc sendiri. Lumayan mengantuk karena bingung hendak mengerjakan apa lagi. Bagi orang-orang awam mungkin enak. Tapi kalau sejak awal bekerja kita gak punya porsi penting dalam pekerjaan dan tidak memiliki daya guna untuk perusahaan, buat apa dipekerjakan? Lalu, saya juga takut kalau tiba-tiba diputus kontrak karena posisi saya ternyata tidak terlalu memiliki daya guna.

Maka saya beberapa kali bertanya jobdesc saya apa selain menginput data pengiriman galvanize. Seminggu ke depan saya mengerjakan jobdesc utama sambil mencari-cari hal lain yang bisa saya kerjakan.

Beberapa kali sepulang kerja Ayah menanyai proyek apa saja yang sedang dikerjakan di pabrik. Karena saya masih baru dan belum terlalu mengerti, saya jawab tidak tahu.

Ayah juga menanyai besaran gaji yang kuterima di sini. Anehnya, Ayah tidak marah atau mempertanyakan kenapa saya malah memilih bekerja di pabrik. Malah Ayah sempat bilang, “Susah-susah nyari kerja, dari dulu aja.”

Padahal saya sempat khawatir Ayah tidak setuju. Saya bahkan sudah mempersiapkan argumen untuk meluapkan betapa saya sangat bingung, lelah, dan kesal dengan fase pencarian kerja yang rumit ini. Tapi tidak terjadi.

Saya melewati akhir pekan bersantai di rumah. Kembali melihat Ayah di rumah. Namun tidak ada obrolan apapun, padahal deep talk dengannya selalu menarik. Namun, kami sekeluarga terlalu segan.

Sampai tiba waktunya..

Selasa. 14 Juni. Ifa memberi tahu lewat pesan grup WhatsApp, Ayah bergejala sakit seperti setahun lalu. Limbung dan terjatuh saat jalan dan pakai sarung/celana. Namun tetap berangkat jalan kaki ke masjid setiap waktu solat. Dari video yang dikirim, saya berfirasat sesi perjalanan rollercoaster yang datar dan tenang akan segera berakhir.

Sorenya sepulang kerja, saya membelikan gorengan seperti biasa untuk di rumah. Ayah memakai setelan solatnya, duduk di sajadah menunggu waktu solat. Kalau Ayah sudah solat di rumah, pertanda kalau kondisinya memang sudah tidak baik. Usai solat Ayah mengambil gorengan yang saya beli. Hanya satu atau dua kalau saya tidak salah ingat. Makan dan minumnya sudah tersedak-sedak.

Lucu dan miris sekali saat melihat Ayah mengunyah gorengan. Hanya sebatas itu yang mampu saya berikan dikondisinya yang seperti ini.

Saya khawatir tapi tidak ingin sedih. Saya justru merasa bosan dengan skenario-Nya. Entah mengapa saya menantang, apa lagi yang akan terjadi kali ini?

Hari itu Ayah sakit lagi seperti tahun lalu. Hampir persis satu tahun dan selalu menjelang Iduladha. Apa mungkin kami diberi kesempatan satu tahun setelah tahun kemarin?


 

 

 

Komentar