Puisi Palagan Nama


Gerbong Waktu
Oleh: Ananda Musdalifah

Dilahirkan dari lintasan rel yang tergilas. Tak lantas meruntuhkan keinginanku      
      berada di atas. Aku adalah jalur ketiga dari enam jalur yang tersedia. Melalui
         Yusuf, Sang Operator, aku dan kelima jalur lainnya tahu ke mana arah kereta
            yang melalui jalur-jalur kami.

      Nur, petugas bersih-bersih, selalu rajin merawat kami. Menyapu.
Memungut sampah. Memastikan tidak ada yang bisa menggilas kami selain
     roda dan panas mentari. Terima kasih, Nur. Kau memang cahaya kami.
                    
Entah jalur mana yang beroperasi lebih dulu. Mungkin jalur satu.       
          Sebab ia selalu mengadu, “Aku seperti Musa yang selalu istimewa,” lantas aku bertanya, “Mengapa?”


Ia tak menjawab.
Lalu kuamati ia sepanjang hari.
Penumpang tak pernah nihil.
Seperti Musa yang beruntung setelah dihanyutkan di Sungai
          Nil.
Aku baru sadar. Setiap jalur tak hanya menunjukkan perbedaan arah tujuan, tapi punya keistimewaan.
mari kusebutkan.

jalur kedua adalah Anugerah. Sebab di peronnya, para penumpang selalu ceria. Kursi-kursi bersih tersedia sebagai penawar lelah. Sebuah arti dari jeda yang indah.
jalur tiga milik Ananda. Sebab penumpang itu rese sekali setiap pagi. Merangsek masuk tanpa tiket. Hanya dia dan beberapa orang tertentu yang suka di jalur itu. Ananda, sepertinya kau mewakili keeksklusifan jalurku yang tak ramah.

Septi dan Ifa dua sejoli yang setia di jalur empat dan lima. Datang bersama tapi pergi terpisah.
jalur enam sebenarnya masih suka terbenam. Seperti Qolbi. Kata orang alim, Qolbi artinya hati. Maka benar kalau jalur ini belum banyak kereta yang lewat beroperasi.

Tapi dari stasiun ini, kami sebenarnya punya mimpi.
Sederhana.
Masing-masing dari kami ingin jadi gerbong kereta.

Citeras—Tanah Abang, Januari 2020

Komentar