CERITA PENDEK

MENGUBUR MIMPI DI ATAS HARAPAN


Sepagi ini Tasya sudah rapi sekali. Tersenyum setelah mematut diri di cermin. Lantas mengenakan jaket, helm, dan membawa tas ransel yang seolah yang tak pernah ia lupakan. Lalu berpamitan.
Hari ini jadwal siaran yang kesekian kalinya. Entahlah, gadis ini selalu saja bersemangat datang ke sana. Menjemput mimpi yang sejak kecil ia dambakan. Tak peduli jarak. Ah, gadis ini memang bebal sekali. Selalu sulit dilarang untuk urusan yang amat disukainya. Selalu bilang, "Ini kesempatan baru. Tempat belajar baru. Pasti akan mengesankan."
Tasya seolah tidak peduli dengan kejadian kemarin lusa. Bahkan merasa tidak perlu sama sekali bilang pada keluarganya. Gadis ini selalu saja nekad!
Sebenarnya Tasya masih teramat takut. Ia sadar sekali mengendarai sepeda motor dengan sisa-sisa genangan air hujan bukanlah pilihan yang tepat. Tapi apa boleh buat, lembaran terakhir uangnya terpaksa diberikan untuk melunasi buku sekolah adiknya. Ah, lagipula mungkin kemarin itu hanya apes saja. Lebam-lebam di tubuhnya bukan masalah besar. Bukankah Tasya sudah terbiasa sejak kecil?
Tasya anggun sekali, luwes mengendarai sepeda motornya. Tidak pelan, tidak terlalu kencang. Dia lebih berhati-hati sekarang. Meski sebenarnya ia masih gugup sekali, takut jika membayangkan itu terjadi lagi. Bahkan ia sempat membayangkan kejadian yang lebih ekstrem, dilindas truk misalnya. Tapi Tasya buru-buru mengenyahkan bayangan itu, kembali konsentrasi.
Jalanan senin pagi selalu sama. Dipadati manusia-manusia yang hendak berangkat menuju aktivitasnya masing-masing. Kondisi jalan dipenuhi kendaraan yang padat merayap.
Tasya masih terlihat baik-baik saja. Rasa semangatnya perlahan menghilangkan rasa takut yang sempat hinggap. Tapi siapa sangka, Tasya justru lalai. Tasya sungguh lalai satu hal. Lalai dengan kondisi sepeda motornya. Dengan kondisi jalanan pagi ini. Maka ketika arus jalanan mulai lancar, ketika Tasya juga pengendara lain mulai memacu kendaraannya lebih cepat. Sepersekian detik setelah itu, rasa takut itu kembali hinggap, menyeruak. Membuat Tasya amat gugup gemetar. Lihatlah di depannya ada seorang ibu-ibu yang tanpa menoleh kanan-kiri dengan santainya menyebrang. Membuat Tasya refleks menarik penuh pedal rem tangan. Dia panik mempertahankan keseimbangan. Tapi apa boleh buat, ban motor yang botak itu lebih dulu tergelincir. Tasya yang tak sengaja menarik gas membuatnya terjatuh tertindih motor yang memutar. Jerih sekali melihatnya.
Wajahnya meringis menahan sakit. Jemari tangannya sempurna tertindih stang kemudi motor. Jangan tanya bagaimana kaki kanannya. Lengkap sudah. Sisa lebam di tubuh kirinya belum sembuh benar, sekarang sudah ditambah yang baru.
Tasya buru-buru bangkit sekaligus mengangkat sepeda motornya, dibantu beberapa bapak-bapak yang sedikit peduli. Bertanya keadaan. Tentu saja Tasya akan menjawab tidak apa-apa, baik-baik saja. Basi sekali. Padahal jelas-jelas tubuhnya nyeri bukan main. Tapi bagaimanalah dia akan mengeluh, ada hal yang lebih perlu diperhatikannya. Pedal rem tangannya patah. Tasya mendesis putus asa,  mengkhawatirkan banyak hal.
Setelah beberapa saat menimbang-nimbang. Mengucapkan terimakasih kepada bapak-bapak tadi. Tasya memutuskan melanjutkan perjalanan.
Ah, gadis ini memang selalu nekad! Berani sekali melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor tanpa rem. Jangan tanya rem belakang, hampir tak berfungsi. Terpaksa Tasya menggunakan kakinya yang nyeri sebagai rem penunjang sementara. Kali ini wajahnya pucat pasi, terlihat takut. Berdegup kencang setiap melihat polisi yang dilintasinya. Sungguh, tak hanya perasaan itu yang berkecamuk dipikirannya. Dia tahu benar, masalah berikutnya menanti di rumah.
Perlahan Tasya memaksa pikirannya agar lebih rileks. Mulai berhasil mengendalikan dirinya. Bilang berkali-kali pada dirinya sendiri, "Semua akan baik-baik saja. Jangan pernah jadi manusia lemah. Jangan pernah terlihat lemah, Tasya."
****
Tasya berhasil sampai di studio radio. Terlihat amat lega.
"Dari rumah jam berapa, Tasy?" Tanya Bang Bian usai menyajikan berita dan mengatur mixer musik.
"Jam enam, Bang." Tasya menjawab setelah membuka jaket dan duduk di kursinya.
Bang Bian menatap sekilas jam dinding, pukul delapan.
"Perjalanan dua jam? Tumben.."
"Iya, senin pagi macet. Dan tadi gue juga sempet jatuh."
"Terus?"
"Ya nggak terus-terus. Motor gue rem tangannya patah. Rem belakangnya juga nggak pakem. Dan gue lanjut jalan nggak pake rem deh. Hebat, nggak?" Tasya mengangkat dua alisnya, nyengir lebar.
"Gila lo ya!" Bang Bian tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya.
"Lo nggak nanya keadaan gue, Bang?"
"Hah?! Buat apa?" Masih dengan sisa-sisa tawa Bang Bian balik bertanya, menyeringai meledek.
Tasya menggerutu dalam hati, "Iya ya, buat apa?"
Ah, lagipula semua orang juga akan bersikap sama. Lihatlah, Tasya ringan sekali menjawabnya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dengan gaya bicara seperti itu siapa pun akan berpikir ia baik-baik saja. Tasya menelan ludah. Menghela nafas. Menatap langit-langit studio.
"Baiklah, lupakan saja. Lupakan dulu semuanya."  Tasya membatin.
****



Sebenarnya Tasya ingin sekali bercerita. Tentang keadaannya, rasa takut, rasa cemas, dan rasa trauma yang menyergapnya. Tapi bagaimanalah, ia sudah terlanjur menganggap semua orang tidak akan peduli. Jadi apa gunanya bercerita?
Tasya kembali membaik dengan beragam aktivitasnya di studio. Seperti yang selalu menjadi tujuannya, ia belajar banyak hal. Tapi ia benar-benar ingin bercerita. Setidaknya tentang detail kejadian saja. Ia tak banyak berharap akan dipedulikan. Maka ia bercerita pada satu temannya. Temannya beberapa waktu ini. Setidaknya semenjak ia memutuskan berubah, ia memiliki sosok teman untuk sekedar berbagi cerita.
Tapi tetap saja, Tasya bukanlah sosok yang mudah berterus terang. Selalu takut dianggap lemah. Jadilah ia bercerita dengan gayanya yang menyebalkan. Menganggap semua yang terjadi biasa saja. Manalah temannya itu akan terlihat  peduli di mata Tasya? Tasya selalu menanggapi pertanyaannya dengan gurauan. Tasya memang bebal sekali, keras kepala, terlalu takut dianggap lemah.
Usai kegiatannya di studio, Tasya memutuskan pulang. Rem yang patah itu harus segera diurus. Jadilah Tasya berkeliling dari satu bengkel ke bengkel lain. Ternyata sulit sekali mencari bengkel yang bisa membetulkannya. Wajah Tasya mengkal, setelah akhirnya menemukan bengkel yang pas. Menunggu agak lama perbaikan. Lantas kembali berkutat dengan pikirannya.
Apa yang salah dengan dirinya selama ini? Mengapa tak ada seorang pun yang peduli dengannya? Peduli dengan tulus. Di saat seperti ini, ingin sekali rasanya diperhatikan. Tasya selalu melihat teman-temannya diperhatikan saat tertimpah masalah, bahkan untuk sekedar masalah yang sangat sepele. Tapi bagaimana dengan Tasya?
Lagipula, siapapun sibuk dengan dunianya sendiri. Siapa pula yang peduli dengannya? Bukankah selama ini Tasya tahu betul, bentuk peduli orang-orang hanya sekedar basa-basi, pemanis mulut yang jauh dari tulus. Tapi mengapa ia masih mengharapkannya?
Siang itu Tasya kembali bangkit. Bukankah selama ini ia selalu mandiri, selalu berusaha sendiri atas apapun, selalu bekerja keras dan tidak pernah ingin merepotkan orang lain.
Setengah tahun terakhir ternyata Tasya sudah sangat merubah dirinya, jauh lebih bersahabat. Di hari wisuda SMAnya saat itu, wali kelasnya mengajak Tasya berbincang. Sejak saat itulah ia mulai merubah diri.
"Nak, boleh ibu katakan sesuatu padamu?" Bu Resti menatapnya lembut.
"Silahkan, Bu." Wajah Tasya tersenyum penuh penghargaan.
Bu Resti menghela nafas panjang sebelum bicara, menatap lekat kedua mata Tasya, "Kamu anak yang sombong. Selama ini kamu terlalu sombong, Nak."
Mata Tasya sempurna membulat. Terperangah. Tersentak. Tentu saja ia bingung. Apa pasalnya Bu Resti mengatakan itu. Selama ini Tasya berteman baik dengan semuanya. Dengan senang hati selalu berbagi apapun. Tasya juga pembelajar yang baik. Bukan berlebihan pula jika hampir seluruh siswa dan guru di sekolah mengenal Tasya. Terkenal sebagai anak didik yang baik.
Tasya masih diam tersentak, mencerna kata-kata itu. Bu Resti tersenyum, mengerti benar apa yang ada di benaknya.
"Kamu terlalu sombong untuk menanggung semuanya sendirian, Nak."
Dahi Tasya mengerut, "Menanggung apa, Bu?"
"Mana Ibu tahu. Kamu selalu menyimpan semua masalahmu sendiri. Selalu mengandalkan dirimu sendiri dalam banyak hal. Merasa tidak perlu melibatkan orang lain. Kenapa harus begitu, Tasya?"
"Sebenarnya apa maksud perkataan Ibu?"
"Kamu tahu betul apa maksud Ibu. Tasya, kamu memang selalu bercerita, selalu berbicara banyak hal. Tapi Ibu tahu, kamu tidak pernah bercerita tentang masalahmu, keluh kesahmu. Kalau pun pernah, kamu tidak pernah serius, Nak. Tidak pernah."

Aku tertunduk mulai mengerti arah pembicaraan Bu Resti.
"Dalam kegiatan sekolah kamu memang selalu melibatkan teman-temanmu. Membuat mereka ikut mengerjakan apa yang menjadi tugas bersama. Kamu piawai sekali mengaturnya. Tapi tidak untuk masalahmu. Kamu selalu merasa tidak perlu meminta bantuan, selalu merasa dapat mengurusnya sendiri. Kamu terlalu sombong, Nak."
"Saya tidak sombong, Bu."
"Kamu sombong, Tasya. Ibu tahu sejatinya kamu selalu merasa sendirian, merasa sepi, merasa seolah-olah tidak punya teman. Padahal semua orang mengenalmu, dan kau mengenali semuanya."

Tasya terdiam. Kata-kata itu benar. Sungguh benar sekali.
"Kamu tahu kenapa? Karena kamu tidak mengizinkan mereka mendengarkan ceritamu, masalah-masalahmu, keluh-kesahmu. Karena kamu tidak mengizinkan mereka untuk sekedar membantumu. Kamu tidak pernah memberikan kesempatan untuk membuat mereka sekedar berarti di matamu. Itu yang membuat mereka segan padamu Tasya."

Mata Tasya berkaca-kaca. Fakta itu membuat ngilu hatinya. Lantas dia harus bagaimana. Ia hanya tidak ingin merepotkan orang lain. Hanya itu.
"Tasya, mulailah membuka diri, Nak. Jangan sungkan untuk berbagi masalahmu, sepanjang itu pantas untuk diceritakan. Jangan sungkan meminta bantuan orang lain. Percayalah dengan begitu orang lain akan merasa dirinya berarti di matamu. Jangan pernah menutup dirimu Tasya. Jangan pernah menjadi anak yang sombong. Jangan pernah."

Tasya mendesis. Omong kosong!
Kata-kata itu hanya omong kosong. Bagi Tasya, tak ada seorang pun yang benar-benar peduli dengannya. Lihatlah, sudah berapa jauh Tasya merubah dirinya. Saling berbagi cerita. Melibatkan teman-temannya pada beberapa kesempatan.
Omong kosong. Sejauh ini Tasya sudah rela terlihat sebagai perempuan yang lemah. Sok mengeluh. Sok mengeluh tentang padatnya tugas dan jadwal kuliah, jarak jauh yang harus ditempuhnya atau apa pun itu. Padahal bagi Tasya itu belumlah apa-apa dibandingkan masalah-masalah besarnya selama ini. Sejauh ini Tasya sudah beberapa kali merepotkan teman-temannya, membuatnya merasa begitu berhutang. Tasya memang tidak pandai betul membuat orang lain simpati padanya. Ia tidak pernah suka dikasihani, apalagi dianggap lemah. Padahal sikap seperti itu yang membuat dirinya kian tersiksa.
Omong kosong!
Bagi Tasya itu semua omong kosong. Lihatlah, selama ini ia sudah merubah dirinya. Dalam banyak kesempatan ia justru semakin merasa sendiri. Dalam banyak masalah ia justru selalu menyelesaikannya sendiri, bahkan tanpa bercerita apa pun kepada siapa pun. Lihatlah, hari ini adalah puncaknya. Ia hanya membutuhkan orang lain untuk sekedar menenangkan. Tapi siapalah yang peduli?
Hari ini Tasya kembali jatuh. Sakit sekali. Dalam arti yang sesungguhnya.
Hari ini Tasya kembali jatuh. Menumbuhkan begitu banyak kekecewaan.
Hari ini Tasya kembali jatuh.
Ya, jatuh kembali seperti dulu. Sore ini Tasya bangkit dari perubahannya. Perubahan itu tidak ada gunanya. Tidak pernah ada. Hanya membuat Tasya berharap yang tidak pasti. Tidak pernah ada yang peduli dengannya. Tidak ada. Tasya adalah orang yang sombong. Biarlah jika itu memang gelar yang pantas untuknya.
Tasya justru bangga sekali memakai gelar itu saat ini.
Menyedihkan melihat Tasya kembali jatuh hari ini dalam arti yang sebenarnya. Tapi lebih menyakitkan melihat Tasya kembali jatuh dalam dunianya yang dulu. Kembali menutup dirinya rapat-rapat. Sungguh menyakitkan!

#OneDayOnePost
#ODOPBATCH5

Komentar

Posting Komentar